Berita  

Usaha penurunan emisi karbonium serta sasaran nasional

Menuju Indonesia Hijau: Usaha Penurunan Emisi Karbonium dan Sasaran Nasional dalam Menghadapi Krisis Iklim

Pendahuluan

Perubahan iklim telah menjadi ancaman global yang tidak dapat lagi diabaikan. Peningkatan suhu permukaan bumi, kenaikan muka air laut, cuaca ekstrem yang semakin sering, hingga ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan, semuanya merupakan manifestasi dari konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang terus meningkat di atmosfer. Di antara GRK tersebut, karbon dioksida (CO2) atau yang sering disebut emisi karbonium, adalah penyumbang terbesar, sebagian besar berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan proses industri.

Sebagai negara kepulauan yang kaya sumber daya alam dan memiliki populasi besar, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, di sisi lain, Indonesia juga memegang peran krusial dalam upaya mitigasi global. Dengan luas hutan tropis yang signifikan dan potensi energi terbarukan yang melimpah, Indonesia memiliki kapasitas untuk menjadi pemain kunci dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon. Artikel ini akan mengulas secara mendalam usaha-usaha penurunan emisi karbonium di Indonesia, kerangka kebijakan, serta sasaran nasional yang telah ditetapkan dalam menghadapi tantangan krisis iklim.

I. Urgensi Penurunan Emisi Karbonium bagi Indonesia

Dampak perubahan iklim sudah terasa nyata di Indonesia. Berbagai fenomena seperti banjir rob di wilayah pesisir, kekeringan berkepanjangan yang mengancam sektor pertanian, serta intensitas badai dan gelombang tinggi yang merusak infrastruktur, telah menjadi bagian dari realitas sehari-hari. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) berulang kali menegaskan bahwa ambang batas kenaikan suhu global 1.5°C di atas tingkat pra-industri harus dipertahankan untuk menghindari dampak yang lebih katastropik. Untuk mencapai tujuan ini, penurunan emisi karbonium secara drastis dan cepat adalah sebuah keniscayaan.

Bagi Indonesia, penurunan emisi bukan hanya tentang tanggung jawab global, tetapi juga tentang menjaga keberlanjutan pembangunan, melindungi masyarakat rentan, dan memastikan kedaulatan sumber daya alam. Sektor-sektor vital seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata sangat bergantung pada stabilitas iklim. Kegagalan dalam mitigasi akan berdampak langsung pada perekonomian, kesehatan masyarakat, dan stabilitas sosial. Oleh karena itu, usaha penurunan emisi karbonium harus dipandang sebagai investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa.

II. Kerangka Kebijakan dan Komitmen Nasional Indonesia

Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat dalam perjanjian iklim internasional, terutama melalui keikutsertaannya dalam Persetujuan Paris. Di bawah kerangka ini, setiap negara wajib menetapkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (Nationally Determined Contribution – NDC) untuk mengurangi emisi GRK.

A. Target NDC Indonesia
Pada tahun 2016, Indonesia menyerahkan NDC pertamanya dengan target ambisius:

  1. Pengurangan emisi sebesar 29% secara mandiri (unconditional) pada tahun 2030 dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa (Business as Usual – BAU).
  2. Pengurangan emisi sebesar 41% dengan dukungan internasional (conditional) pada tahun 2030 dibandingkan dengan skenario BAU.

Pada tahun 2022, Indonesia memperbarui NDC-nya (Enhanced NDC), meningkatkan target pengurangan emisi secara mandiri menjadi 31,89% dan target dengan dukungan internasional menjadi 43,20% pada tahun 2030. Peningkatan target ini mencerminkan tekad kuat Indonesia untuk berkontribusi lebih besar dalam upaya global.

B. Visi Net Zero Emission (NZE) 2060/2050
Selain target jangka menengah 2030, Indonesia juga memiliki visi jangka panjang untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. NZE berarti menyeimbangkan jumlah emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer dengan jumlah yang diserap atau dihilangkan. Pencapaian NZE akan memerlukan transformasi fundamental di semua sektor ekonomi, dari energi, industri, kehutanan, pertanian, hingga transportasi. Pemerintah telah menyusun strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim sebagai peta jalan menuju NZE.

C. Kebijakan Pendukung
Komitmen ini diperkuat oleh berbagai kebijakan dan regulasi nasional, antara lain:

  • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris.
  • Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Regulasi ini membuka jalan bagi implementasi mekanisme NEK seperti perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, dan pungutan karbon.
  • Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang mengintegrasikan agenda perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan.
  • Kebijakan sektoral dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, dan lainnya.

III. Strategi dan Sektor Kunci Penurunan Emisi Karbonium

Pencapaian target NDC dan NZE memerlukan strategi komprehensif yang melibatkan berbagai sektor. Berikut adalah beberapa sektor kunci dan strategi mitigasi yang diimplementasikan di Indonesia:

A. Sektor Energi
Sektor energi merupakan penyumbang emisi terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, transisi energi memegang peranan sentral:

  1. Pengembangan Energi Terbarukan (ET): Peningkatan porsi ET dalam bauran energi nasional (target 23% pada 2025). Indonesia memiliki potensi besar dari energi surya, angin, panas bumi, hidro, dan biomassa. Investasi dalam pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), dan panas bumi terus didorong.
  2. Penghentian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara: Melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berupaya mempensiunkan dini PLTU batu bara dan menggantinya dengan sumber energi yang lebih bersih.
  3. Efisiensi Energi: Program konservasi energi di sektor industri, bangunan, dan transportasi melalui penggunaan teknologi hemat energi dan perubahan perilaku.
  4. Inovasi Teknologi: Pengembangan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (Carbon Capture, Utilization, and Storage – CCUS) untuk industri padat emisi.

B. Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan (FOLU Net Sink)
Sektor kehutanan adalah kunci bagi Indonesia, tidak hanya sebagai penyerap karbon tetapi juga sebagai sumber emisi jika terjadi deforestasi. Indonesia menargetkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use – FOLU) mencapai kondisi Net Sink pada tahun 2030, artinya penyerapan karbon lebih besar daripada emisinya. Strategi utamanya meliputi:

  1. Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan: Penegakan hukum yang tegas, moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut, serta upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
  2. Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Penanaman kembali hutan yang terdegradasi dan restorasi ekosistem gambut yang rusak.
  3. Pengelolaan Hutan Berkelanjutan: Implementasi Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), perhutanan sosial, dan sertifikasi pengelolaan hutan lestari.
  4. Pengelolaan Gambut: Restorasi dan revegetasi lahan gambut untuk mencegah emisi metana dan CO2 yang masif.

C. Sektor Industri
Industri merupakan sektor yang terus berkembang dan berpotensi besar dalam pengurangan emisi:

  1. Efisiensi Proses Produksi: Penggunaan teknologi yang lebih efisien dalam proses industri untuk mengurangi konsumsi energi dan bahan baku.
  2. Transisi ke Bahan Bakar Lebih Bersih: Penggunaan gas alam, biomassa, atau hidrogen sebagai pengganti bahan bakar fosil.
  3. Ekonomi Sirkular: Menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) untuk mengurangi limbah dan penggunaan sumber daya primer.
  4. Inovasi dan Teknologi Hijau: Mendorong riset dan pengembangan teknologi rendah karbon serta adopsi praktik industri hijau.

D. Sektor Pertanian
Pertanian, meskipun penting untuk ketahanan pangan, juga menyumbang emisi GRK, terutama metana dan dinitrogen oksida:

  1. Pertanian Cerdas Iklim (Climate-Smart Agriculture): Praktik pertanian yang meningkatkan produktivitas dan ketahanan terhadap perubahan iklim sambil mengurangi emisi.
  2. Pengelolaan Lahan Pertanian Berkelanjutan: Penggunaan pupuk yang efisien, pengelolaan limbah pertanian, dan praktik tanpa olah tanah.
  3. Pengelolaan Lahan Gambut Pertanian: Menghindari drainase berlebihan dan mempromosikan praktik basah.

E. Sektor Limbah
Pengelolaan limbah yang tidak tepat menghasilkan emisi metana dari timbunan sampah:

  1. Pengelolaan Sampah Terpadu: Implementasi 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di tingkat rumah tangga dan industri.
  2. Pemanfaatan Sampah Menjadi Energi (Waste-to-Energy): Pembangunan fasilitas pengolahan sampah menjadi listrik atau bahan bakar alternatif.
  3. Pengolahan Air Limbah: Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) untuk mengurangi emisi metana.

F. Sektor Transportasi
Sektor transportasi adalah salah satu sumber emisi terbesar di perkotaan:

  1. Pengembangan Transportasi Publik Massal: Peningkatan aksesibilitas dan kualitas transportasi umum (MRT, LRT, TransJakarta) untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
  2. Transisi ke Kendaraan Listrik (EV): Insentif dan infrastruktur untuk mendorong adopsi kendaraan listrik dan hibrida.
  3. Penggunaan Bahan Bakar Bio (BBN): Mandat penggunaan biodiesel (B30, B35) dan pengembangan bioetanol.
  4. Pengembangan Infrastruktur Berkelanjutan: Pembangunan jalur sepeda dan fasilitas pejalan kaki.

IV. Tantangan dan Peluang

Upaya penurunan emisi karbonium di Indonesia tidak lepas dari tantangan dan peluang yang signifikan.

A. Tantangan:

  1. Investasi Besar: Transisi energi dan dekarbonisasi industri memerlukan investasi triliunan rupiah yang tidak dapat dipenuhi hanya oleh anggaran pemerintah.
  2. Teknologi dan Inovasi: Keterbatasan akses terhadap teknologi rendah karbon yang canggih dan kebutuhan untuk riset serta pengembangan lokal.
  3. Kapasitas Sumber Daya Manusia: Kebutuhan akan SDM yang terampil di bidang energi terbarukan, pengelolaan karbon, dan industri hijau.
  4. Koordinasi Lintas Sektor: Kompleksitas koordinasi antara berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
  5. Keadilan Transisi: Memastikan bahwa transisi menuju ekonomi rendah karbon tidak menciptakan beban baru bagi masyarakat rentan atau pekerja di industri fosil.
  6. Data dan Pemantauan: Kebutuhan akan sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang robust untuk mengukur kemajuan.

B. Peluang:

  1. Penciptaan Ekonomi Hijau: Pengembangan sektor energi terbarukan, industri daur ulang, dan pertanian berkelanjutan dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru.
  2. Peningkatan Investasi Asing: Komitmen terhadap keberlanjutan dapat menarik investasi asing langsung (FDI) dan pendanaan iklim dari lembaga internasional.
  3. Inovasi Lokal: Mendorong inovasi dan riset dalam teknologi hijau yang sesuai dengan konteks Indonesia.
  4. Kemakmuran dan Kesehatan: Kualitas udara yang lebih baik, ketahanan pangan, dan perlindungan ekosistem akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
  5. Kepemimpinan Regional dan Global: Menjadi contoh bagi negara berkembang lainnya dalam upaya mitigasi dan adaptasi iklim.

V. Peran Stakeholder

Pencapaian sasaran nasional ini membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak:

  • Pemerintah: Sebagai pembuat kebijakan, regulator, dan fasilitator investasi.
  • Sektor Swasta: Sebagai investor, inovator, dan pelaksana proyek dekarbonisasi.
  • Masyarakat Sipil dan Akademisi: Sebagai pengawas, advokat, penyedia data, dan pengembang solusi inovatif.
  • Masyarakat Umum: Melalui perubahan gaya hidup berkelanjutan, partisipasi dalam program mitigasi, dan dukungan terhadap kebijakan hijau.
  • Mitra Internasional: Melalui dukungan pendanaan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas.

Kesimpulan

Indonesia berada di garis depan perjuangan melawan perubahan iklim. Dengan target penurunan emisi karbonium yang semakin ambisius dan visi Net Zero Emission, pemerintah telah menetapkan arah yang jelas. Usaha-usaha di berbagai sektor—mulai dari transisi energi, perlindungan hutan, hingga praktik industri dan pertanian yang berkelanjutan—sedang dan akan terus digalakkan.

Meskipun tantangan yang dihadapi sangat besar, peluang untuk menciptakan ekonomi yang lebih hijau, inklusif, dan berkelanjutan juga tak kalah besarnya. Keberhasilan dalam mencapai sasaran nasional ini tidak hanya akan memberikan manfaat ekologis, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen kuat, inovasi tanpa henti, dan kolaborasi dari seluruh elemen bangsa. Dengan sinergi yang tepat, Indonesia dapat membuktikan diri sebagai pemimpin dalam aksi iklim global, menuju masa depan yang lebih hijau dan lestari.

Exit mobile version