Soeharto

Soeharto: Arsitek Orde Baru, Simbol Pembangunan dan Kontroversi Kekuasaan

Dalam lembaran sejarah Indonesia modern, nama Soeharto terukir dengan tinta yang tebal, mewakili sebuah era panjang yang membentuk wajah bangsa. Memerintah selama 32 tahun (1967-1998), jenderal bintang lima ini adalah arsitek utama Orde Baru, sebuah rezim yang menjanjikan stabilitas dan pembangunan setelah gejolak tahun 1960-an. Namun, di balik narasi kemajuan ekonomi, terhampar pula bayang-bayang otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan praktik korupsi yang masif, menciptakan warisan yang kompleks dan ambivalen yang terus menjadi subjek perdebatan hingga kini.

Awal Mula dan Jalan Menuju Kekuasaan

Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di Kemusuk, Yogyakarta, dari keluarga petani. Pendidikan militernya dimulai pada masa pendudukan Jepang, yang kemudian berlanjut setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia terlibat aktif dalam Revolusi Nasional, menunjukkan kepemimpinan dan strategi militer yang menonjol, termasuk dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Karir militernya terus menanjak, dari komandan batalion hingga Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), menjadikannya figur penting dalam struktur militer Indonesia.

Puncak karir Soeharto, dan sekaligus titik balik sejarah Indonesia, terjadi pada tahun 1965. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang misterius, di mana enam jenderal Angkatan Darat dibunuh, menjadi katalisator kejatuhan Presiden Soekarno dan naiknya Soeharto. Dengan cepat, Soeharto mengambil alih kendali situasi, memimpin operasi penumpasan G30S yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Penumpasan ini diikuti oleh pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituduh komunis atau simpatisan PKI, sebuah tragedi kemanusiaan yang diperkirakan menelan ratusan ribu, bahkan jutaan korban jiwa.

Pada 11 Maret 1966, Soeharto menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno, yang memberinya kewenangan untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Supersemar ini kemudian ditafsirkan sebagai pengalihan kekuasaan secara de facto. Melalui serangkaian langkah politik, termasuk pembubaran PKI dan penangkapan sejumlah menteri, Soeharto secara bertahap mengikis kekuasaan Soekarno. Pada Maret 1967, Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden, dan setahun kemudian, pada Maret 1968, ia resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia kedua. Dimulailah era yang ia namakan "Orde Baru".

Orde Baru: Pembangunan Ekonomi dan Stabilitas Politik

Dengan Orde Baru, Soeharto menjanjikan koreksi total terhadap penyimpangan Orde Lama Soekarno. Prioritas utama adalah stabilisasi politik dan pembangunan ekonomi. Soeharto menyadari bahwa kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi adalah akar dari ketidakpuasan rakyat. Ia merangkul para ekonom lulusan Barat yang dikenal sebagai "Mafia Berkeley" (meskipun istilah ini kontroversial), yang merancang kebijakan ekonomi berbasis pasar dan membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing.

Program pembangunan lima tahunan, atau Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), menjadi tulang punggung strategi ekonomi Orde Baru. Repelita fokus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, bendungan, dan fasilitas listrik, serta sektor pertanian, khususnya swasembada pangan. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, sebuah pencapaian yang digembar-gemborkan sebagai bukti keberhasilan pembangunan Orde Baru dan Soeharto dianugerahi medali dari FAO. Angka kemiskinan menurun drastis, pendidikan dasar semakin merata, dan layanan kesehatan dasar menjangkau lebih banyak rakyat. Bank Dunia bahkan memuji Indonesia sebagai salah satu "Macan Asia" berkat pertumbuhan ekonomi yang pesat dan konsisten.

Untuk menjaga stabilitas yang diperlukan bagi pembangunan, Soeharto membangun sebuah struktur politik yang kokoh dan sentralistik. Partai Golongan Karya (Golkar) dijadikan kendaraan politik utama yang selalu memenangkan pemilu, didukung penuh oleh birokrasi dan militer. Konsep Dwi Fungsi ABRI, yang memberikan peran sosial-politik kepada militer selain fungsi pertahanan, menjadi pilar penting dalam menjaga ketertiban dan mengawasi setiap aspek kehidupan masyarakat. Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal bagi setiap organisasi politik dan kemasyarakatan, membatasi ruang bagi ideologi lain. Media massa dikendalikan ketat, dan kritik terhadap pemerintah seringkali berujung pada pembredelan atau penangkapan.

Sisi Gelap Kekuasaan: Otoritarianisme dan Pelanggaran HAM

Di balik gemerlap pembangunan dan stabilitas, Orde Baru adalah rezim otoriter yang membatasi kebebasan sipil dan menekan perbedaan pendapat. Penumpasan PKI pasca-1965, yang tidak pernah diusut tuntas, menjadi trauma kolektif dan alat untuk menakut-nakuti setiap potensi oposisi. Ribuan tahanan politik, yang dituduh terlibat PKI, mendekam di penjara tanpa proses hukum yang adil selama bertahun-tahun, seperti yang terjadi di Pulau Buru.

Pelanggaran hak asasi manusia lainnya juga terjadi di berbagai daerah konflik. Invasi dan aneksasi Timor Timur pada tahun 1975, yang diikuti oleh kekerasan dan penindasan sistematis, menimbulkan korban jiwa yang tak terhitung dan dikecam dunia internasional. Di Aceh dan Papua, operasi militer yang bertujuan menumpas gerakan separatis juga kerap diwarnai dengan kekerasan terhadap warga sipil. Kasus-kasus seperti penembakan misterius (Petrus) pada awal 1980-an, yang menargetkan preman dan residivis tanpa proses hukum, menunjukkan betapa rendahnya penghargaan terhadap nyawa dan hak asasi di bawah rezim ini.

Seiring berjalannya waktu, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi kanker yang menggerogoti Orde Baru. Keluarga dan kroni Soeharto terlibat dalam berbagai proyek bisnis raksasa, mendapatkan konsesi dan fasilitas khusus yang merugikan negara. Kekayaan yang terakumulasi di tangan segelintir orang ini menciptakan kesenjangan sosial yang tajam dan memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Praktik KKN ini menjadi salah satu pemicu utama kemarahan publik menjelang akhir kekuasaan Soeharto.

Krisis dan Kejatuhan

Meskipun Orde Baru berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan selama lebih dari dua dekade, fondasinya mulai rapuh menjelang akhir 1990-an. Krisis Moneter Asia yang melanda pada pertengahan 1997 menjadi pukulan telak. Rupiah anjlok, bank-bank kolaps, dan PHK massal terjadi di mana-mana. Kemarahan rakyat atas kondisi ekonomi yang memburuk, ditambah dengan frustrasi atas praktik KKN yang merajalela dan ketiadaan reformasi politik, mencapai puncaknya.

Gelombang demonstrasi mahasiswa besar-besaran terjadi di berbagai kota, menuntut reformasi total dan pengunduran diri Soeharto. Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa tewas tertembak, semakin membakar semangat reformasi. Kerusuhan massal meletus di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya pada 13-15 Mei, menimbulkan korban jiwa dan kerusakan parah. Dukungan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk beberapa tokoh penting yang sebelumnya loyal, mulai memudar. Puncaknya, pada 21 Mei 1998, setelah serangkaian tekanan politik dan militer, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan presiden. Momen bersejarah ini menandai berakhirnya 32 tahun kekuasaan Orde Baru dan dimulainya era Reformasi.

Warisan dan Perdebatan

Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Setelah lengser, ia menghadapi beberapa tuduhan korupsi, namun tidak pernah diadili secara tuntas karena kondisi kesehatannya yang memburuk. Warisannya adalah sebuah mosaik yang kompleks, penuh kontradiksi dan perdebatan yang tak kunjung usai.

Di satu sisi, pendukungnya memuji Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan" yang membawa Indonesia dari kemiskinan menuju kemajuan ekonomi, menciptakan stabilitas politik yang sangat dibutuhkan, dan membangun fondasi infrastruktur modern. Mereka berargumen bahwa pembangunan yang masif itu tidak akan mungkin terjadi tanpa kepemimpinan yang kuat dan sentralistik.

Namun, di sisi lain, para kritikus menyoroti biaya kemajuan tersebut: hilangnya kebebasan sipil, penindasan politik, pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, dan korupsi yang mengakar. Bagi mereka, Orde Baru adalah sebuah "rezim tiran" yang mengorbankan demokrasi dan keadilan demi kekuasaan. Banyak yang berpendapat bahwa praktik KKN yang diwariskan Orde Baru masih menjadi masalah fundamental di Indonesia hingga saat ini.

Soeharto adalah figur sentral yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia abad ke-20. Ia adalah arsitek sebuah sistem yang berhasil membawa kemajuan, namun juga menorehkan luka mendalam bagi banyak individu dan komunitas. Memahami era Soeharto berarti merangkul kompleksitas ini, menimbang prestasi dan dosa-dosanya secara berimbang, demi pembelajaran berharga bagi perjalanan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih demokratis dan adil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *