Sejarah parlemen

Dari Witenagemot ke Gedung Legislatif Modern: Menjelajahi Sejarah Parlemen

Parlemen, atau lembaga legislatif, adalah pilar utama demokrasi modern. Ia berfungsi sebagai forum bagi perwakilan rakyat untuk menyuarakan aspirasi, membuat undang-undang, mengawasi pemerintahan, dan mengalokasikan sumber daya negara. Namun, lembaga yang kita kenal sekarang ini bukanlah entitas statis yang muncul begitu saja. Sejarah parlemen adalah narasi panjang tentang perjuangan kekuasaan, evolusi sosial, dan perjuangan tiada henti menuju pemerintahan yang lebih representatif dan akuntabel. Dari pertemuan-pertemuan kuno yang terbatas hingga parlemen yang kompleks dan inklusif di era modern, perjalanan parlemen mencerminkan transformasi peradaban manusia.

Akar-akar Awal: Dari Konsultasi Feodal ke Embrio Perwakilan

Untuk memahami asal-usul parlemen, kita harus kembali ke abad pertengahan di Eropa Barat, khususnya Inggris. Konsep "parlemen" itu sendiri berasal dari kata Latin "parliamentum" atau Perancis "parlement", yang berarti "berbicara" atau "berunding". Awalnya, ini merujuk pada pertemuan besar antara raja dan para bangsawannya, ulama, dan pemimpin militer.

Di Inggris, cikal bakal parlemen dapat ditelusuri ke lembaga Anglo-Saxon yang disebut Witenagemot atau "dewan orang bijak". Ini adalah majelis penasihat yang membantu raja dalam pengambilan keputusan penting, seperti masalah hukum, pajak, dan perang. Meskipun tidak representatif dalam pengertian modern, Witenagemot menunjukkan adanya tradisi konsultasi antara penguasa dan elite kerajaan.

Setelah Penaklukan Norman pada tahun 1066, tradisi ini berlanjut dalam bentuk Curia Regis (Dewan Raja). Curia Regis adalah badan penasihat yang lebih formal, terdiri dari baron-baron besar, uskup, dan pejabat tinggi. Fungsi utamanya adalah memberikan nasihat kepada raja, mengelola keuangan, dan bertindak sebagai pengadilan tertinggi. Pertemuan Curia Regis ini, meskipun belum disebut parlemen, merupakan fondasi penting karena raja mulai terbiasa memanggil para pembesar untuk membahas urusan kerajaan.

Titik balik krusial dalam sejarah parlemen adalah penandatanganan Magna Carta pada tahun 1215. Meskipun Magna Carta bukanlah dokumen yang mendirikan parlemen, ia membatasi kekuasaan raja dan menetapkan prinsip bahwa raja tidak dapat memungut pajak atau bantuan finansial tanpa "persetujuan umum dari kerajaan". Ini adalah benih gagasan bahwa raja harus berkonsultasi dengan para bangsawan sebelum membuat keputusan finansial yang besar, yang kelak akan menjadi salah satu kekuatan utama parlemen.

Langkah signifikan berikutnya terjadi pada tahun 1265. Selama pemberontakan baron yang dipimpin oleh Simon de Montfort melawan Raja Henry III, de Montfort memanggil sebuah majelis yang tidak hanya melibatkan para bangsawan dan ulama, tetapi juga perwakilan dari ksatria (gentry) dari setiap shire (county) dan warga kota (burgesses) dari kota-kota besar. Ini adalah kali pertama perwakilan dari rakyat jelata (meskipun hanya elite lokal) diundang untuk berpartisipasi dalam musyawarah nasional. Meskipun parlemen de Montfort berumur pendek, ia menorehkan preseden penting.

Preseden ini kemudian diambil alih oleh Raja Edward I. Pada tahun 1295, Edward I memanggil apa yang sering disebut sebagai "Parlemen Model". Parlemen ini secara teratur mengundang perwakilan dari ksatria dan warga kota di samping para bangsawan dan ulama. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan dukungan finansial dan politik untuk perang raja. Edward I menyadari bahwa lebih mudah untuk memungut pajak jika mereka yang akan membayarnya memiliki semacam suara dalam keputusannya. Dari sinilah, konsep bahwa perwakilan dari berbagai lapisan masyarakat harus hadir dalam majelis yang membahas urusan negara mulai mengakar.

Perkembangan Abad Pertengahan dan Awal Modern: Pembentukan Dua Kamar dan Perebutan Kekuasaan

Seiring waktu, Parlemen Inggris mulai mengambil bentuk yang lebih jelas. Pada abad ke-14, Parlemen secara bertahap memisahkan diri menjadi dua "rumah" atau kamar:

  1. House of Lords (Majelis Tinggi): Terdiri dari para bangsawan (peer) dan uskup (lord spiritual). Keanggotaannya berdasarkan warisan atau posisi gerejawi.
  2. House of Commons (Majelis Rendah): Terdiri dari perwakilan terpilih dari ksatria dan warga kota. Ini adalah kamar yang semakin mewakili kepentingan rakyat jelata, meskipun hak pilih masih sangat terbatas pada pemilik tanah kaya.

Pemisahan ini memungkinkan kedua kamar untuk bersidang secara terpisah, membahas undang-undang, dan memberikan persetujuan mereka. House of Commons secara bertahap mulai mendapatkan kekuasaan lebih besar, terutama dalam hal keuangan. Raja-raja membutuhkan dana untuk perang dan pemerintahan, dan Commons, sebagai pemegang kunci "kantong" negara (karena mereka mewakili pembayar pajak), menggunakan kekuatan ini sebagai alat tawar menawar. Mereka seringkali menuntut konsesi politik atau pengakuan atas hak-hak mereka sebagai imbalan atas persetujuan pajak.

Pada periode Tudor (abad ke-15 dan 16), meskipun raja-raja seperti Henry VIII dan Elizabeth I memiliki kekuasaan yang kuat, mereka tetap menggunakan Parlemen sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan mereka, terutama reformasi agama. Parlemen menjadi forum di mana undang-undang dibuat dan diumumkan, memberikan legitimasi hukum yang kuat.

Puncak Konflik dan Revolusi: Kedaulatan Parlemen Ditegakkan

Abad ke-17 adalah periode paling bergejolak dalam sejarah Parlemen Inggris, yang dikenal sebagai periode Stuart. Raja-raja Stuart, seperti James I dan Charles I, menganut doktrin hak ilahi raja, meyakini bahwa kekuasaan mereka berasal langsung dari Tuhan dan tidak dapat diganggu gugat oleh Parlemen. Konflik antara raja dan Parlemen memuncak pada masalah pajak, agama, dan kekuasaan absolut.

Raja Charles I seringkali membubarkan Parlemen atau memerintah tanpa memanggilnya, mencoba mengumpulkan dana tanpa persetujuan Parlemen. Ketegangan ini akhirnya meletus menjadi Perang Saudara Inggris (1642-1651), sebuah konflik berdarah antara pendukung raja (Royalist) dan pendukung Parlemen (Parliamentarian) yang dipimpin oleh Oliver Cromwell. Kemenangan Parlemen berujung pada eksekusi Raja Charles I pada tahun 1649, sebuah peristiwa yang mengguncang seluruh Eropa. Untuk pertama kalinya, sebuah monarki dieksekusi oleh rakyatnya sendiri atas nama kedaulatan Parlemen.

Periode setelahnya adalah Interregnum (1649-1660), di mana Inggris diperintah sebagai republik di bawah Cromwell sebagai Lord Protector. Meskipun Cromwell pada akhirnya juga memerintah secara otoriter, periode ini menunjukkan kemampuan Parlemen untuk mengambil alih kekuasaan eksekutif.

Restorasi monarki pada tahun 1660 dengan naiknya Charles II ke takhta membawa kembali monarki, tetapi benih-benih kedaulatan Parlemen telah tertanam. Konflik berlanjut di bawah James II, yang mencoba memulihkan Katolik dan memerintah secara absolut. Hal ini memicu Revolusi Gemilang (Glorious Revolution) tahun 1688, di mana Parlemen mengundang William dari Orange dan Mary untuk mengambil takhta dengan syarat mereka menerima Bill of Rights tahun 1689.

Bill of Rights adalah dokumen monumental yang secara definitif menetapkan supremasi Parlemen atas raja. Ia membatasi kekuasaan raja, melarang raja untuk memungut pajak atau mempertahankan tentara tanpa persetujuan Parlemen, menjamin kebebasan berbicara di Parlemen, dan menetapkan bahwa Parlemen harus sering bersidang. Ini adalah momen kunci di mana Inggris beralih dari monarki absolut ke monarki konstitusional parlementer, menjadi model bagi banyak negara lain.

Konsolidasi dan Ekspansi Demokrasi: Dari Elitisme Menuju Inklusivitas

Setelah Revolusi Gemilang, kekuasaan Parlemen semakin terkonsolidasi. Sistem kabinet pemerintahan mulai berkembang, di mana menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Parlemen (bukan hanya kepada raja) membentuk pemerintahan. Perdana Menteri pertama, Robert Walpole, muncul pada awal abad ke-18, menandai pergeseran dari kekuasaan monarki langsung ke kekuasaan eksekutif yang berasal dari dan bertanggung jawab kepada Parlemen.

Abad ke-18 dan ke-19 menyaksikan Inggris menjadi kekuatan global, tetapi Parlemen masih jauh dari representatif. Hak pilih sangat terbatas pada pemilik tanah laki-laki kaya, dan banyak daerah perkotaan baru yang padat penduduk tidak memiliki perwakilan sama sekali (borough busuk), sementara daerah pedesaan yang hampir kosong masih memiliki perwakilan.

Tuntutan untuk reformasi demokratis tumbuh seiring dengan Revolusi Industri dan perubahan sosial. Serangkaian Reform Acts pada abad ke-19 (terutama pada tahun 1832, 1867, dan 1884) secara bertahap memperluas hak pilih kepada lebih banyak laki-laki, termasuk pekerja kelas menengah dan, pada akhirnya, sebagian besar pekerja laki-laki. Proses ini berlangsung lambat, namun tak terbendung, menuju demokrasi yang lebih luas.

Abad ke-20 membawa perubahan yang lebih radikal. Pada tahun 1918, sebagian besar perempuan di atas usia 30 tahun diberikan hak pilih, dan pada tahun 1928, hak pilih universal penuh diberikan kepada semua perempuan di atas 21 tahun (kemudian diturunkan menjadi 18 tahun). Pada saat yang sama, kekuasaan House of Lords secara signifikan dikurangi, menegaskan dominasi House of Commons sebagai lembaga yang dipilih secara demokratis.

Parlemen di Dunia Modern: Adaptasi dan Tantangan Global

Model parlementer Inggris, yang dikenal sebagai Model Westminster, menyebar ke seluruh dunia melalui kolonisasi dan dekolonisasi. Banyak negara Persemakmuran mengadopsi sistem dua kamar, kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen, dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Namun, banyak negara lain mengembangkan variasi mereka sendiri, seperti sistem parlementer di negara-negara Eropa Kontinental dengan sistem multi-partai dan representasi proporsional, atau sistem campuran seperti sistem semi-presidensial.

Dalam era modern, parlemen memiliki fungsi-fungsi esensial:

  1. Legislasi: Membuat, mengubah, dan mencabut undang-undang.
  2. Pengawasan: Mengawasi kinerja pemerintah dan memastikan akuntabilitas.
  3. Representasi: Menjadi suara bagi berbagai konstituen dan kepentingan masyarakat.
  4. Alokasi Anggaran: Menyetujui anggaran negara dan mengontrol pengeluaran publik.
  5. Debat dan Diskusi: Menyediakan forum untuk perdebatan publik tentang isu-isu penting.

Meskipun demikian, parlemen modern menghadapi berbagai tantangan. Kekuatan eksekutif seringkali dianggap terlalu dominan, terutama di sistem mayoritas. Ada kekhawatiran tentang menurunnya partisipasi publik dan meningkatnya sinisme terhadap politik. Globalisasi, kebangkitan media sosial, dan populisme juga memberikan tekanan baru pada lembaga legislatif untuk tetap relevan dan responsif.

Kesimpulan

Sejarah parlemen adalah kisah tentang perjuangan panjang untuk membatasi kekuasaan absolut dan membangun pemerintahan yang didasarkan pada persetujuan rakyat. Dari pertemuan konsultatif para bangsawan hingga lembaga perwakilan yang inklusif, evolusinya mencerminkan pergeseran fundamental dalam struktur kekuasaan dan gagasan tentang pemerintahan yang baik. Parlemen telah menjadi medan pertempuran ideologi, tempat undang-undang dibuat, dan penjaga demokrasi.

Meskipun menghadapi tantangan di era modern, peran parlemen sebagai jantung demokrasi tetap tak tergantikan. Ia adalah lembaga yang memungkinkan dialog, kompromi, dan representasi keberagaman masyarakat, memastikan bahwa suara rakyat didengar dan bahwa kekuasaan tidak pernah sepenuhnya terpusat pada satu individu atau kelompok. Sejarahnya yang kaya adalah pengingat konstan akan pentingnya menjaga dan terus mengembangkan lembaga ini agar tetap menjadi benteng kebebasan dan keadilan bagi generasi mendatang.

Exit mobile version