Kedudukan Strategis Badan Permusyawaratan Desa (BPD): Pilar Demokrasi dan Pengawasan dalam Pengambilan Kebijakan Desa
Pendahuluan
Desa, sebagai unit pemerintahan terkecil namun paling dekat dengan denyut nadi masyarakat, memegang peranan fundamental dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan di tingkat desa tidak hanya ditentukan oleh kepemimpinan Kepala Desa (Kades) semata, tetapi juga oleh mekanisme tata kelola yang partisipatif, akuntabel, dan transparan. Dalam konteks ini, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) hadir sebagai salah satu pilar utama demokrasi desa, yang fungsi dan kedudukannya krusial dalam setiap proses pengambilan kebijakan. BPD bukan sekadar lembaga pelengkap, melainkan representasi kolektif suara masyarakat desa yang bertindak sebagai penyeimbang, pengawas, dan mitra sejajar Pemerintah Desa. Artikel ini akan mengulas secara komprehensif mengenai kedudukan strategis BPD dalam pengambilan kebijakan desa, mulai dari landasan hukum, fungsi pokok, peran legislasi dan pengawasan, hingga tantangan serta prospek penguatannya demi terwujudnya tata kelola desa yang lebih baik.
Memahami BPD: Landasan Hukum dan Filosofi Pembentukan
Badan Permusyawaratan Desa, atau yang dulu dikenal dengan berbagai nama seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) atau Badan Permusyawaratan Masyarakat Desa (BPMPD), secara definitif adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Keberadaan BPD bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah pemerintahan desa di Indonesia, namun pengaturannya mengalami evolusi signifikan, terutama pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-Undang Desa memberikan pijakan hukum yang kuat bagi BPD untuk beroperasi secara mandiri dan memiliki kedudukan yang setara dengan Pemerintah Desa dalam beberapa aspek. Regulasi pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan secara lebih spesifik, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa, semakin memperjelas mandat, tugas, fungsi, hak, kewajiban, serta tata kerja BPD.
Filosofi di balik pembentukan BPD sangatlah mendalam. Pertama, sebagai lembaga representasi, BPD dirancang untuk menjembatani aspirasi dan kepentingan masyarakat desa. Anggota BPD dipilih dari berbagai unsur masyarakat, termasuk keterwakilan wilayah, perempuan, atau golongan tertentu, sehingga diharapkan mampu menangkap spektrum kebutuhan dan keinginan masyarakat yang beragam. Kedua, BPD berperan sebagai mekanisme check and balance terhadap kekuasaan Kepala Desa. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang tidak diawasi cenderung korup atau otoriter. BPD hadir untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh Kepala Desa dan jajarannya sejalan dengan kehendak rakyat dan tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan. Ketiga, BPD menguatkan prinsip demokrasi partisipatif di tingkat desa, di mana keputusan penting desa diambil melalui musyawarah yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dengan BPD sebagai salah satu fasilitator dan penentu.
Fungsi dan Tugas Pokok BPD: Manifestasi Kedudukan Strategis
Berdasarkan Permendagri Nomor 110 Tahun 2016, BPD memiliki tiga fungsi utama yang secara gamblang menunjukkan kedudukannya yang strategis dalam tata kelola desa:
- Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa. Fungsi ini menempatkan BPD sebagai mitra legislatif Kepala Desa, menegaskan bahwa tidak ada Peraturan Desa (Perdes) yang sah tanpa persetujuan BPD.
- Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. BPD adalah corong suara rakyat, wajib mendengar, mencatat, dan menyampaikan masukan, kritik, serta harapan masyarakat kepada Pemerintah Desa.
- Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Fungsi ini menjadikan BPD sebagai lembaga kontrol yang mengawasi pelaksanaan Perdes, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), serta kebijakan-kebijakan lain yang telah ditetapkan.
Selain fungsi utama tersebut, Permendagri juga merinci sejumlah tugas BPD yang memperkuat kedudukannya dalam pengambilan kebijakan:
- Menggali aspirasi masyarakat: Secara proaktif mencari tahu kebutuhan dan permasalahan masyarakat.
- Menampung aspirasi masyarakat: Menyediakan mekanisme formal dan informal bagi masyarakat untuk menyampaikan pandangan.
- Menyalurkan aspirasi masyarakat: Membawa aspirasi tersebut ke dalam forum musyawarah desa atau langsung kepada Kepala Desa.
- Menyelenggarakan musyawarah desa: Berperan penting dalam memfasilitasi musyawarah, termasuk musyawarah perencanaan pembangunan desa.
- Membentuk panitia pemilihan Kepala Desa: Menjamin proses pemilihan Kepala Desa berjalan demokratis dan transparan.
- Mengevaluasi laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan desa: Menilai kinerja Kepala Desa di akhir masa jabatan.
- Menciptakan hubungan kerja yang harmonis dengan Pemerintah Desa dan lembaga desa lainnya: Menjaga iklim kerja yang kondusif.
- Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan: Fleksibilitas untuk menjalankan peran tambahan sesuai kebutuhan.
Kedudukan BPD dalam Proses Pengambilan Kebijakan Desa
Kedudukan BPD dalam pengambilan kebijakan desa dapat dilihat dari beberapa dimensi penting:
1. Sebagai Mitra Sejajar Pemerintah Desa dalam Proses Legislasi
BPD memiliki kedudukan yang setara dengan Kepala Desa dalam proses pembentukan Peraturan Desa (Perdes). Ini bukan hubungan atasan-bawahan, melainkan hubungan kemitraan yang setara dalam menghasilkan regulasi desa. Rancangan Perdes, baik yang diinisiasi oleh Pemerintah Desa maupun oleh BPD, harus dibahas dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Tanpa persetujuan BPD, Rancangan Perdes tidak dapat ditetapkan menjadi Perdes yang berlaku. Ini menegaskan bahwa kebijakan yang mengikat masyarakat desa harus melewati filter musyawarah dan persetujuan perwakilan rakyat. Contoh paling nyata adalah pembahasan dan penetapan APBDes. BPD memiliki hak untuk mencermati, mengoreksi, dan menyetujui atau menolak rancangan APBDes yang diajukan oleh Kepala Desa, memastikan alokasi anggaran sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masyarakat.
2. Sebagai Lembaga Pengawas Kinerja Kepala Desa
Fungsi pengawasan BPD adalah manifestasi paling jelas dari prinsip check and balance. BPD bertugas mengawasi pelaksanaan Perdes, Peraturan Kepala Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan kebijakan-kebijakan lain yang telah disepakati. Pengawasan ini tidak hanya bersifat reaktif (menanggapi aduan), tetapi juga proaktif (memantau secara berkala). Anggota BPD berhak meminta keterangan kepada Kepala Desa mengenai pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Apabila ditemukan penyimpangan atau kinerja yang tidak sesuai harapan, BPD memiliki kewenangan untuk merekomendasikan sanksi atau tindakan korektif, bahkan dapat mengusulkan pemberhentian Kepala Desa jika pelanggarannya berat dan terbukti melalui mekanisme yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Kedudukan ini memastikan akuntabilitas Kepala Desa terhadap masyarakat yang diwakili oleh BPD.
3. Sebagai Representasi dan Artikulasi Kepentingan Masyarakat
BPD adalah jembatan antara masyarakat dan Pemerintah Desa. Melalui fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi, BPD memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh desa tidak hanya berdasarkan kehendak Kepala Desa, tetapi juga mencerminkan kebutuhan, harapan, dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Proses musyawarah desa, yang seringkali difasilitasi oleh BPD, menjadi arena vital di mana partisipasi masyarakat diakomodasi dalam perumusan kebijakan, mulai dari perencanaan pembangunan (Musrenbangdes) hingga penetapan prioritas program. Kedudukan ini sangat penting untuk mencegah kebijakan yang tidak relevan atau bahkan merugikan masyarakat.
Tantangan dalam Optimalisasi Peran BPD
Meskipun memiliki kedudukan yang strategis dan fungsi yang vital, BPD kerap menghadapi berbagai tantangan dalam mengoptimalkan perannya:
- Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM): Banyak anggota BPD, terutama di desa-desa terpencil, masih memiliki pemahaman yang terbatas mengenai regulasi desa, teknis pemerintahan, pengelolaan keuangan, dan isu-isu pembangunan. Hal ini menghambat efektivitas mereka dalam membahas rancangan Perdes atau melakukan pengawasan yang mendalam.
- Sinergi dan Harmonisasi dengan Pemerintah Desa: Hubungan antara BPD dan Kepala Desa seringkali diwarnai dinamika yang kompleks. Terkadang terjadi tumpang tindih peran, miskomunikasi, bahkan konflik kepentingan yang menghambat kerja sama yang harmonis dalam pengambilan kebijakan. Ego sektoral atau perbedaan pandangan politik dapat memperkeruh suasana.
- Partisipasi Masyarakat yang Rendah: Meskipun BPD bertugas menampung aspirasi, partisipasi aktif masyarakat dalam musyawarah desa atau menyampaikan pandangan seringkali masih rendah. Ini bisa disebabkan oleh kurangnya kesadaran, minimnya informasi, atau apatisme masyarakat terhadap proses politik di desa.
- Politisasi dan Intervensi Pihak Eksternal: Anggota BPD tidak imun dari pengaruh politik lokal atau kepentingan kelompok tertentu. Politisasi dapat mengikis independensi BPD dalam menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi, menjadikan mereka alat kepentingan pihak tertentu daripada representasi murni masyarakat.
- Keterbatasan Anggaran dan Fasilitas: Beberapa BPD masih menghadapi kendala anggaran operasional yang minim, fasilitas kantor yang tidak memadai, atau kurangnya dukungan teknis. Keterbatasan ini dapat menghambat mobilitas anggota BPD untuk menggali aspirasi atau melakukan pengawasan lapangan.
Prospek Penguatan dan Rekomendasi
Untuk mengoptimalkan kedudukan strategis BPD dalam pengambilan kebijakan desa, beberapa langkah penguatan perlu dilakukan:
- Peningkatan Kapasitas Anggota BPD: Pemerintah daerah perlu secara berkelanjutan menyelenggarakan pelatihan dan bimbingan teknis bagi anggota BPD mengenai peraturan perundang-undangan desa, teknik penyusunan Perdes, pengawasan keuangan desa, dan isu-isu pembangunan. Modul pelatihan harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
- Membangun Mekanisme Komunikasi dan Koordinasi yang Efektif: Diperlukan forum rutin antara BPD dan Pemerintah Desa untuk membahas isu-isu strategis, menyamakan persepsi, dan menyelesaikan potensi konflik secara musyawarah. Peraturan internal desa dapat mengatur tata cara dan etika hubungan kerja kedua lembaga.
- Mendorong Partisipasi Aktif Masyarakat: BPD harus lebih proaktif dalam mensosialisasikan peran dan fungsinya kepada masyarakat. Menciptakan saluran aspirasi yang mudah diakses, transparan, dan responsif dapat meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat. Penggunaan teknologi informasi juga bisa dimanfaatkan.
- Penegakan Etika dan Independensi: Anggota BPD perlu memahami dan menjunjung tinggi kode etik serta prinsip independensi dalam menjalankan tugasnya. Pemerintah daerah dan masyarakat dapat berperan dalam mengawasi dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran etika.
- Dukungan Anggaran dan Fasilitas yang Memadai: Alokasi anggaran yang cukup untuk operasional BPD serta penyediaan fasilitas kerja yang layak akan mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi mereka.
Kesimpulan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah lembaga vital yang memiliki kedudukan strategis sebagai pilar demokrasi, mitra legislatif, dan pengawas dalam pengambilan kebijakan desa. Dengan fungsi membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa, BPD memastikan bahwa setiap kebijakan yang lahir di desa adalah produk musyawarah yang partisipatif, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan seperti keterbatasan kapasitas, dinamika hubungan dengan Pemerintah Desa, dan rendahnya partisipasi masyarakat, potensi BPD untuk menjadi kekuatan penggerak pembangunan desa sangatlah besar. Dengan upaya penguatan kapasitas, peningkatan sinergi, serta dukungan yang memadai dari berbagai pihak, BPD dapat menjalankan perannya secara optimal, menjadikan desa sebagai laboratorium demokrasi yang sesungguhnya dan ujung tombak terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Kedudukan BPD yang kokoh dan efektif adalah kunci menuju tata kelola desa yang lebih baik dan pembangunan desa yang berkelanjutan.