Indonesia di Jantung Aksi Iklim Global: Membedah Kedudukan dalam Konvensi Paris Agreement
Perubahan iklim telah menjadi salah satu ancaman eksistensial terbesar bagi umat manusia di abad ke-21. Dari gelombang panas ekstrem, kekeringan berkepanjangan, hingga naiknya permukaan air laut dan badai yang semakin intens, dampak krisis iklim terasa di seluruh penjuru dunia. Menyadari urgensi ini, komunitas internasional bersatu di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencari solusi kolektif, yang puncaknya adalah lahirnya Konvensi Paris Agreement pada tahun 2015. Dalam arsitektur tata kelola iklim global ini, Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, pemilik hutan tropis yang luas, dan salah satu negara dengan populasi terbesar, memegang kedudukan yang sangat strategis dan kompleks.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam kedudukan Indonesia dalam Konvensi Paris Agreement, menyoroti komitmennya, tantangan yang dihadapinya, serta peluang dan peran kepemimpinan yang dapat dimainkan di panggung global.
Latar Belakang: Lahirnya Konvensi Paris Agreement dan Prinsipnya
Sebelum Konvensi Paris, upaya global untuk mengatasi perubahan iklim telah dimulai dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 1992 dan Protokol Kyoto pada tahun 1997. Namun, Protokol Kyoto, yang menetapkan target pengurangan emisi yang mengikat hanya untuk negara-negara maju, terbukti memiliki keterbatasan. Banyak negara maju tidak meratifikasinya, sementara emisi dari negara-negara berkembang pesat mulai meningkat signifikan.
Konvensi Paris Agreement muncul sebagai terobosan baru. Perjanjian ini bersifat universal, melibatkan hampir semua negara di dunia, dan mengadopsi pendekatan "bottom-up" melalui Nationally Determined Contributions (NDCs). Setiap negara secara sukarela menetapkan target pengurangan emisi dan adaptasi mereka sendiri, yang diharapkan akan semakin ambisius seiring waktu. Tujuan utamanya adalah menjaga kenaikan suhu global jauh di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, dan berupaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius.
Salah satu prinsip kunci yang mendasari Konvensi Paris dan sangat relevan bagi Indonesia adalah prinsip "tanggung jawab bersama namun berbeda dan kemampuan masing-masing" (Common But Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities – CBDR-RC). Prinsip ini mengakui bahwa semua negara memiliki tanggung jawab untuk mengatasi perubahan iklim, tetapi negara-negara maju, yang secara historis menjadi penyebab utama emisi, memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk memimpin upaya mitigasi dan menyediakan dukungan finansial serta teknologi bagi negara-negara berkembang.
Kedudukan Strategis Indonesia dalam Lanskap Iklim Global
Indonesia memiliki kedudukan yang unik dan strategis dalam konteks perubahan iklim global karena beberapa alasan fundamental:
-
Negara Kepulauan dan Kerentanan Iklim: Dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut mengancam pulau-pulau kecil, abrasi pantai, intrusi air laut ke lahan pertanian, dan pergeseran pola cuaca ekstrem yang memicu banjir dan kekeringan. Kerentanan ini menjadikan upaya adaptasi sebagai prioritas utama bagi Indonesia.
-
Paru-Paru Dunia dan Sumber Emisi: Indonesia diberkahi dengan hutan tropis yang luas, gambut, dan ekosistem mangrove yang berperan vital sebagai penyerap karbon global, menjadikannya "paru-paru dunia." Namun, di sisi lain, deforestasi dan degradasi lahan gambut, serta pertumbuhan sektor energi berbasis fosil, menjadikan Indonesia salah satu kontributor emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia. Dilema antara konservasi dan pembangunan berkelanjutan menjadi inti dari tantangan iklim Indonesia.
-
Ekonomi Berkembang dan Kebutuhan Pembangunan: Sebagai negara berkembang dengan populasi besar (keempat terbesar di dunia), Indonesia memiliki kebutuhan mendesak untuk pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan penyediaan energi yang terjangkau bagi rakyatnya seringkali berbenturan dengan agenda dekarbonisasi.
-
Aktor Regional dan Global: Indonesia adalah anggota G20, ASEAN, dan berbagai forum internasional lainnya. Posisi ini memberikan Indonesia platform untuk menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang, mempromosikan kerja sama regional, dan menjadi jembatan antara negara maju dan berkembang dalam negosiasi iklim.
Komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contributions (NDCs)
Sebagai negara pihak dalam Konvensi Paris, Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut pada tahun 2016 dan secara konsisten menyampaikan NDC-nya. Komitmen awal Indonesia adalah mengurangi emisi GRK sebesar 29% dengan upaya sendiri (unconditional) dan 41% dengan dukungan internasional (conditional) pada tahun 2030, dibandingkan dengan skenario business as usual (BAU).
Sektor-sektor utama yang menjadi fokus mitigasi Indonesia meliputi:
- Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (FOLU): Penurunan deforestasi, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, restorasi gambut, dan rehabilitasi hutan. Sektor ini merupakan kontributor emisi terbesar di masa lalu dan juga memiliki potensi mitigasi yang sangat besar.
- Energi: Peningkatan pemanfaatan energi terbarukan, efisiensi energi, dan transisi dari energi fosil.
- Limbah: Pengelolaan limbah yang lebih baik, termasuk daur ulang dan produksi biogas.
- Industri: Peningkatan efisiensi energi dan penggunaan teknologi rendah karbon.
- Pertanian: Praktik pertanian yang berkelanjutan dan rendah emisi.
Pada tahun 2022, Indonesia menyampaikan Enhanced NDC (NDC yang diperbarui) dengan target yang lebih ambisius: mengurangi emisi sebesar 31,89% secara unconditional dan 43,2% secara conditional pada tahun 2030. Peningkatan ambisi ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam berkontribusi pada tujuan global 1,5 derajat Celcius, meskipun tetap menekankan pentingnya dukungan internasional.
Selain mitigasi, NDC Indonesia juga mencakup komponen adaptasi yang kuat, mengingat kerentanan negaranya. Fokus adaptasi meliputi ketahanan pangan, energi, air, kesehatan, ekosistem dan keanekaragaman hayati, serta wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tantangan yang Dihadapi Indonesia
Meskipun memiliki komitmen yang kuat, Indonesia menghadapi berbagai tantangan signifikan dalam memenuhi target Paris Agreement:
-
Pendanaan Iklim: Skala investasi yang dibutuhkan untuk transisi energi, restorasi ekosistem, dan pembangunan infrastruktur tahan iklim sangat besar. Meskipun ada mekanisme pendanaan iklim internasional, aksesibilitas dan jumlah yang tersedia masih jauh dari kebutuhan. Indonesia membutuhkan dukungan finansial yang konsisten dan memadai dari negara-negara maju.
-
Transfer Teknologi dan Kapasitas: Transisi menuju ekonomi rendah karbon membutuhkan teknologi canggih, terutama di sektor energi terbarukan, efisiensi energi, dan penangkapan karbon. Indonesia membutuhkan transfer teknologi yang adil dan terjangkau, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk mengoperasikan dan mengembangkannya.
-
Keseimbangan Pembangunan dan Iklim: Mencapai target iklim sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah tantangan fundamental. Keputusan investasi pada proyek-proyek energi, infrastruktur, dan industri harus mempertimbangkan implikasi iklim jangka panjang tanpa menghambat pembangunan.
-
Tata Kelola dan Implementasi: Implementasi kebijakan iklim yang efektif membutuhkan koordinasi lintas sektor yang kuat antara berbagai kementerian, lembaga pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Harmonisasi kebijakan, penegakan hukum, dan pemantauan yang transparan adalah kunci.
-
Kerentanan Ekstrem: Indonesia terus-menerus menghadapi dampak perubahan iklim. Bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor menjadi lebih sering dan intens. Ini mengalihkan sumber daya dan perhatian dari upaya mitigasi jangka panjang ke respons darurat dan rehabilitasi.
Peluang dan Peran Kepemimpinan Indonesia
Di tengah tantangan, kedudukan Indonesia juga membuka berbagai peluang dan peran kepemimpinan:
-
Potensi Ekonomi Hijau: Transisi menuju ekonomi rendah karbon dapat membuka peluang investasi baru dalam energi terbarukan, efisiensi energi, industri hijau, dan pariwisata berkelanjutan. Ini dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan daya saing ekonomi.
-
Solusi Berbasis Alam: Indonesia memiliki potensi besar dalam solusi berbasis alam (Nature-Based Solutions/NBS), seperti restorasi hutan mangrove, gambut, dan ekosistem terestrial lainnya. NBS tidak hanya berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi, tetapi juga mendukung keanekaragaman hayati dan mata pencaharian masyarakat lokal.
-
Diplomasi Iklim: Indonesia dapat memainkan peran kepemimpinan yang lebih besar dalam diplomasi iklim, terutama sebagai suara negara-negara berkembang. Indonesia dapat mendorong keadilan iklim, memfasilitasi dialog antara negara maju dan berkembang, dan mempromosikan kerja sama selatan-selatan. Keketuaan G20 dan ASEAN telah menjadi platform penting untuk agenda ini.
-
Pengembangan Energi Terbarukan: Dengan sumber daya surya, panas bumi, hidro, dan angin yang melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada batu bara.
-
Peran dalam Global Stocktake: Sebagai bagian dari mekanisme Konvensi Paris, Global Stocktake (GST) akan secara berkala menilai kemajuan kolektif dunia dalam mencapai tujuan iklim. Indonesia dapat aktif berpartisipasi dalam GST, berbagi pengalaman, dan mendesak peningkatan ambisi global.
Kesimpulan
Kedudukan Indonesia dalam Konvensi Paris Agreement adalah posisi yang krusial, strategis, dan penuh tanggung jawab. Sebagai negara kepulauan yang rentan namun kaya akan sumber daya alam vital, Indonesia berada di persimpangan jalan antara kebutuhan pembangunan dan keharusan menjaga kelestarian lingkungan global. Komitmen yang telah ditunjukkan melalui NDC dan upaya mitigasi serta adaptasi yang sedang berjalan adalah bukti keseriusan Indonesia.
Namun, jalan ke depan tidaklah mudah. Tantangan pendanaan, teknologi, dan harmonisasi kebijakan pembangunan dengan agenda iklim memerlukan dukungan internasional yang kuat dan kolaborasi yang erat antar-pemangku kepentingan di dalam negeri. Dengan memanfaatkan peluang ekonomi hijau, solusi berbasis alam, dan peran kepemimpinan dalam diplomasi iklim, Indonesia dapat tidak hanya memenuhi kewajibannya dalam Konvensi Paris, tetapi juga menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia. Kedudukan Indonesia dalam Konvensi Paris Agreement bukan hanya tentang memenuhi target, melainkan tentang membentuk masa depan yang lebih tangguh dan adil di tengah krisis iklim global.


