Berita  

Bentrokan agraria serta peperangan orang tani dalam menjaga tanah

Ketika Tanah Berdarah: Epik Perlawanan Petani dalam Bentrokan Agraria

Tanah. Bagi sebagian orang, ia adalah aset investasi, komoditas yang diperjualbelikan, atau sekadar ruang untuk membangun. Namun bagi jutaan orang tani di seluruh dunia, terutama di Indonesia, tanah adalah nyawa, identitas, warisan leluhur, dan satu-satunya sumber penghidupan. Ia adalah ibu yang memberi makan, rumah yang melindungi, dan kuburan yang menanti. Ketika tanah terancam dirampas, diperkosa, atau dicemari, orang tani tidak punya pilihan selain bangkit, melawan, dan "berperang" – sebuah epik perlawanan yang seringkali sunyi, namun penuh darah dan air mata.

Bentrokan agraria, atau konflik agraria, bukanlah fenomena baru. Ia adalah warisan panjang sejarah kolonialisme yang memisahkan masyarakat dari tanah mereka, dan diperparah oleh kebijakan pembangunan pasca-kemerdekaan yang seringkali bias pro-investasi. Di Indonesia, konflik agraria telah menjadi borok kronis yang tak kunjung sembuh, merenggut nyawa, mengusik keadilan, dan mengancam keberlanjutan hidup jutaan keluarga petani, masyarakat adat, dan nelayan tradisional.

Akar Masalah: Mengapa Tanah Menjadi Medan Perang?

Memahami bentrokan agraria berarti menyelami labirin ketidakadilan struktural yang kompleks. Setidaknya ada beberapa akar masalah utama yang terus memicu peperangan orang tani:

  1. Ketimpangan Penguasaan Tanah yang Ekstrem: Data menunjukkan bahwa sebagian besar tanah di Indonesia dikuasai oleh segelintir korporasi besar dan individu. Sementara itu, jutaan petani gurem dan tanpa tanah hidup dalam kemiskinan dan kerentanan. Ketimpangan ini menciptakan jurang pemisah yang lebar, di mana kekuatan modal berhadapan dengan kekuatan hidup.

  2. Ekspansi Kapitalisme Agraria dan Industri Ekstraktif: Pembangunan skala besar seperti perkebunan monokultur (kelapa sawit, HTI), pertambangan, pembangunan infrastruktur (jalan tol, bendungan, bandara), hingga proyek properti dan pariwisata, selalu membutuhkan lahan yang luas. Tanah-tanah yang diincar seringkali adalah tanah garapan petani, hutan adat, atau wilayah tangkapan ikan masyarakat pesisir. Dalih "pembangunan" dan "investasi" seringkali menjadi mantra untuk melegitimasi perampasan lahan.

  3. Kebijakan Negara yang Bias Pro-Investasi: Sejak era Orde Baru hingga kini, negara seringkali cenderung memihak kepentingan modal besar. Berbagai undang-undang dan peraturan, mulai dari UU Pokok Agraria (UUPA) yang seharusnya melindungi hak rakyat, namun dalam praktiknya seringkali ditafsirkan untuk kepentingan korporasi, hingga UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang semakin mempermudah izin usaha dan melemahkan perlindungan lingkungan serta hak-hak masyarakat, menjadi payung hukum bagi perampasan tanah. Hak guna usaha (HGU) yang diberikan kepada perusahaan seringkali tumpang tindih dengan hak kelola masyarakat yang sudah ada secara turun-temurun.

  4. Lemahnya Penegakan Hukum dan Korupsi: Hukum agraria di Indonesia seringkali tajam ke bawah tumpul ke atas. Petani yang mempertahankan tanahnya seringkali dijerat dengan pasal-pasal pidana seperti perambahan hutan atau penyerobotan lahan, sementara pelaku korporasi yang merampas tanah dengan cara-cara ilegal atau intimidatif jarang tersentuh hukum. Korupsi dalam penerbitan izin-izin konsesi dan sertifikat tanah juga menjadi masalah serius yang memperparah konflik.

  5. Tidak Diakuinya Hak Masyarakat Adat: Meskipun UUD 1945 mengakui hak-hak masyarakat adat, implementasinya masih sangat parsial. Wilayah adat seringkali tidak diakui secara resmi, sehingga mudah diklaim oleh negara atau diberikan kepada korporasi. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah bukan hanya aset, melainkan bagian integral dari identitas, spiritualitas, dan sistem pengetahuan mereka.

Wajah Perlawanan: Peperangan Orang Tani Melawan Goliath

Ketika tanah terancam, orang tani tidak tinggal diam. Mereka mengangkat senjata – bukan senapan, melainkan tekad baja, solidaritas, dan warisan perjuangan nenek moyang. "Peperangan" yang mereka lancarkan bukanlah selalu dalam arti militeristik, tetapi sebuah perjuangan multi-dimensi yang gigih dan tanpa henti.

  1. Perlawanan Administratif dan Hukum: Petani seringkali memulai perjuangan mereka melalui jalur resmi: mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN), mengirim surat keberatan kepada pemerintah, atau menuntut hak-hak mereka di lembaga legislatif. Mereka berusaha membuktikan kepemilikan atau hak kelola mereka melalui bukti-bukti historis, adat, dan saksi-saksi. Namun, jalur ini seringkali panjang, mahal, dan penuh rintangan.

  2. Aksi Massa dan Demonstrasi: Ketika jalur hukum buntu, atau ketika ancaman sudah di depan mata, petani dan masyarakat adat seringkali melakukan aksi massa. Mereka berunjuk rasa di kantor-kantor pemerintah daerah, kementerian, hingga di depan istana negara. Mereka melakukan blokade jalan, mendirikan tenda-tenda perjuangan di lokasi sengketa, atau menggelar ritual adat untuk menolak penggusuran. Aksi-aksi ini adalah upaya untuk menarik perhatian publik dan mendesak pemerintah agar bertindak adil.

  3. Pendudukan Kembali (Reclaiming) Tanah: Dalam banyak kasus, ketika tanah mereka telah dirampas secara paksa atau tidak sah, petani melakukan aksi pendudukan kembali. Mereka kembali menggarap tanah yang diklaim perusahaan, menanam tanaman, dan membangun gubuk-gubuk sederhana sebagai tanda perlawanan. Aksi ini adalah pernyataan tegas bahwa tanah itu adalah milik mereka dan akan mereka pertahankan dengan segala cara.

  4. Pengorganisasian dan Solidaritas: Perlawanan petani tidak bisa berdiri sendiri. Mereka membentuk serikat-serikat tani, organisasi masyarakat adat, dan jaringan solidaritas dengan aktivis lingkungan, mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil lainnya. Melalui pengorganisasian, mereka memperkuat posisi tawar, berbagi pengalaman, dan menggalang dukungan moral serta material. Solidaritas adalah senjata utama mereka melawan kekuatan modal dan negara yang lebih besar.

  5. Perlawanan Budaya dan Spiritual: Bagi masyarakat adat, tanah tidak hanya fisik, tetapi juga spiritual. Mereka seringkali melibatkan ritual adat, upacara penolakan, atau cerita-cerita lisan tentang hubungan mereka dengan tanah sebagai bagian dari perjuangan. Ini adalah cara mereka menegaskan identitas dan klaim mereka atas tanah yang tak terpisahkan dari leluhur dan masa depan mereka.

Dampak dan Konsekuensi: Harga Sebuah Perjuangan

Perlawanan orang tani seringkali harus dibayar mahal. Bentrokan agraria meninggalkan jejak luka yang dalam, baik fisik maupun psikologis:

  • Kriminalisasi Petani: Petani yang mempertahankan tanahnya seringkali dituduh sebagai "penyerobot", "perambah hutan", atau "provokator". Mereka dijerat dengan pasal-pasal pidana dan dipenjara, meninggalkan keluarga tanpa pencari nafkah. Kriminalisasi adalah alat ampuh untuk membungkam perlawanan.
  • Kekerasan dan Intimidasi: Penggusuran paksa seringkali diwarnai kekerasan oleh aparat keamanan atau preman bayaran korporasi. Petani diintimidasi, dipukuli, bahkan ditembak. Banyak korban jiwa berjatuhan dalam bentrokan agraria.
  • Kehilangan Mata Pencarian dan Kemiskinan: Setelah tanah dirampas, petani kehilangan satu-satunya sumber penghidupan mereka. Mereka terpaksa menjadi buruh migran, mengungsi ke kota, atau hidup dalam kemiskinan yang lebih parah.
  • Perpecahan Sosial: Konflik agraria seringkali memecah belah komunitas. Ada yang tergoda iming-iming ganti rugi (yang seringkali tidak sepadan), ada yang memilih melawan. Perpecahan ini melemahkan solidaritas dan membuat perjuangan semakin sulit.
  • Kerusakan Lingkungan: Eksploitasi lahan oleh korporasi seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan parah, seperti deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Ini semakin merusak basis hidup masyarakat lokal.
  • Trauma Psikologis: Pengalaman kekerasan, intimidasi, dan kehilangan tanah meninggalkan trauma mendalam bagi individu dan komunitas, yang dapat diturunkan lintas generasi.

Menuju Keadilan Agraria: Harapan dan Tantangan

Meskipun berat, peperangan orang tani untuk menjaga tanah tidak pernah berhenti. Harapan untuk keadilan agraria tetap menyala, didorong oleh cita-cita akan Indonesia yang adil dan makmur bagi seluruh rakyatnya.

  1. Reforma Agraria Sejati: Solusi mendasar adalah implementasi reforma agraria yang komprehensif dan sejati. Ini bukan hanya tentang pembagian sertifikat, tetapi redistribusi tanah secara adil kepada petani dan masyarakat adat yang berhak, penataan ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berpihak pada rakyat kecil, serta pengakuan dan perlindungan hak-hak atas tanah secara menyeluruh.
  2. Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat: Negara harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan memberikan pengakuan resmi atas wilayah adat, hak ulayat, serta sistem hukum adat mereka.
  3. Penegakan Hukum yang Adil dan Transparan: Aparat penegak hukum harus bertindak imparsial, melindungi hak-hak petani, dan menindak tegas korporasi serta oknum yang melakukan perampasan lahan dan kekerasan. Kasus-kasus kriminalisasi petani harus segera dihentikan dan korban direhabilitasi.
  4. Partisipasi Masyarakat dalam Kebijakan: Masyarakat terdampak harus dilibatkan secara bermakna dalam setiap proses pengambilan keputusan terkait perencanaan dan penggunaan lahan. Persetujuan Bebas Didahulukan Tanpa Paksaan (PBTBP/FPIC) harus menjadi prinsip yang mutlak.
  5. Penguatan Organisasi Petani dan Masyarakat Sipil: Dukungan terhadap organisasi petani dan masyarakat sipil yang mendampingi perjuangan agraria sangat krusial. Mereka adalah garda terdepan dalam menyuarakan keadilan dan memberikan bantuan hukum serta sosial.
  6. Perubahan Paradigma Pembangunan: Pemerintah harus bergeser dari paradigma pembangunan yang hanya berorientasi pertumbuhan ekonomi dan investasi semata, menuju pembangunan yang berkelanjutan, berkeadilan sosial, dan menghormati hak asasi manusia serta lingkungan. Kedaulatan pangan dan energi harus menjadi prioritas, bukan hanya profit korporasi.

Kesimpulan

Peperangan orang tani dalam menjaga tanah adalah cerminan dari perjuangan abadi antara keadilan dan ketidakadilan, antara kehidupan dan kerakusan. Ia adalah epik perlawanan yang mengingatkan kita bahwa tanah bukan sekadar objek mati, melainkan sumber kehidupan yang harus dijaga dan dilindungi. Setiap butir tanah yang dipertahankan petani adalah benteng terakhir kedaulatan pangan, keadilan sosial, dan keberlanjutan bumi.

Selama ketimpangan agraria masih ada, selama hak-hak petani dan masyarakat adat masih diabaikan, selama kekuatan modal masih lebih dominan dari kekuatan rakyat, maka "perang" ini akan terus berkecamuk. Tugas kita bersama, sebagai masyarakat yang beradab, adalah tidak menutup mata terhadap penderitaan mereka, melainkan berdiri bersama orang tani dalam perjuangan mereka untuk sebuah masa depan yang lebih adil dan bermartabat, di mana tanah benar-benar menjadi ibu bagi semua, bukan hanya bagi segelintir elite.

Exit mobile version