Akibat Kebijakan Pendirian Rumah Ibadah terhadap Kerukunan Umat

Dilema Harmoni: Mengurai Implikasi Kebijakan Pendirian Rumah Ibadah Terhadap Kerukunan Umat di Indonesia

Indonesia, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, adalah mozaik indah keberagaman suku, budaya, dan agama. Di tengah keragaman ini, keberadaan rumah ibadah menjadi simbol vital dari kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun, ironisnya, kebijakan yang mengatur pendirian rumah ibadah, yang seharusnya menjamin hak tersebut dan memelihara kerukunan, justru seringkali menjadi pemicu ketegangan dan konflik antarumat beragama. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana kebijakan pendirian rumah ibadah di Indonesia, khususnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, telah menimbulkan implikasi kompleks terhadap kerukunan umat, serta menyoroti akar masalah dan solusi yang mungkin.

Pendahuluan: Antara Hak Konstitusional dan Realitas Sosial

Kebebasan beragama dan beribadah adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi Indonesia, UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Implementasi hak ini memerlukan ruang dan sarana, salah satunya adalah rumah ibadah. Namun, pembangunan atau pendirian rumah ibadah tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, budaya, dan demografi masyarakat setempat. Di sinilah peran kebijakan pemerintah menjadi krusial, sebagai jembatan antara jaminan konstitusional dan realitas sosial yang majemuk.

Pemerintah Indonesia, melalui berbagai regulasi, berupaya menata dan mengelola pendirian rumah ibadah agar tidak menimbulkan gesekan di masyarakat. Puncak dari upaya ini adalah penerbitan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Kebijakan ini bertujuan mulia: menciptakan keteraturan, memastikan kerukunan, dan mencegah konflik. Namun, dalam praktiknya, PBM 2006 justru seringkali menjadi episentrum kontroversi dan pemicu disharmoni.

PBM 2006: Sebuah Pedoman yang Sarat Interpretasi

PBM 2006 hadir sebagai upaya untuk menyempurnakan regulasi sebelumnya yang dianggap kurang memadai. Poin krusial dalam PBM ini terkait pendirian rumah ibadah adalah persyaratan yang meliputi:

  1. Daftar Nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat.
  2. Dukungan Masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
  3. Rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota.
  4. Rekomendasi tertulis dari Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota.
  5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah daerah.

Secara teoritis, PBM ini dirancang untuk memastikan bahwa pendirian rumah ibadah mendapatkan persetujuan dari komunitas lokal dan tidak mengganggu ketertiban umum. Adanya FKUB diharapkan menjadi kanal dialog dan mediasi untuk mencapai konsensus. Namun, dalam implementasinya, pasal-pasal ini seringkali menjadi sandungan, terutama bagi kelompok minoritas di suatu daerah.

Implikasi Negatif Kebijakan Terhadap Kerukunan Umat

  1. Potensi Konflik dan Ketegangan Sosial:

    • Kesulitan Izin bagi Minoritas: Syarat dukungan 90 dan 60 orang seringkali menjadi hambatan besar bagi kelompok agama minoritas di suatu wilayah. Di daerah dengan dominasi agama tertentu, mengumpulkan jumlah dukungan tersebut, apalagi dari "masyarakat setempat," bisa menjadi mustahil. Penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah minoritas seringkali tidak didasari oleh alasan teknis, melainkan sentimen mayoritas yang tidak menginginkan kehadiran simbol agama lain di lingkungannya.
    • Mobilisasi Penolakan: Persyaratan dukungan masyarakat justru membuka celah bagi kelompok intoleran untuk memobilisasi penolakan. Dalih "tidak ada dukungan masyarakat" sering digunakan sebagai tameng, meskipun faktanya masyarakat sekitar tidak keberatan, namun diintimidasi atau diprovokasi oleh pihak-pihak tertentu. Ini menciptakan iklim ketidakpercayaan dan kecurigaan antarumat beragama.
    • Penyalahgunaan Prosedur: Proses perizinan yang berbelit-belit dan syarat yang ambigu seringkali disalahgunakan. Ada kasus di mana oknum memanipulasi data dukungan, atau sebaliknya, menghambat proses dengan berbagai dalih. Hal ini memicu frustrasi dan rasa ketidakadilan, yang pada akhirnya merusak kerukunan.
  2. Merusak Kepercayaan dan Toleransi Antarumat:

    • Rasa Diskriminasi: Ketika kelompok minoritas merasa haknya untuk beribadah dihalangi atau dipersulit, mereka akan merasa didiskriminasi. Perasaan ini, jika terakumulasi, dapat menumbuhkan bibit kebencian dan perlawanan, yang merusak fondasi toleransi dan kebersamaan.
    • Erosi Nilai Kebhinekaan: Kebijakan yang cenderung memihak mayoritas atau mempersulit minoritas secara tidak langsung mengikis semangat kebhinekaan. Ia menciptakan "warga negara kelas dua" dalam konteks keagamaan, padahal semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum.
  3. Polarisasi Sosial dan Politik:

    • Isu Agama dalam Politik Lokal: Konflik pendirian rumah ibadah seringkali dipolitisasi, terutama menjelang pemilihan umum. Isu agama menjadi komoditas politik untuk mendulang suara, memperkeruh suasana, dan memperdalam jurang polarisasi di masyarakat.
    • Peran FKUB yang Ambivalen: FKUB, yang seharusnya menjadi garda terdepan kerukunan, seringkali terjebak dalam dilema. Di satu sisi, ia diharapkan menjaga harmoni; di sisi lain, rekomendasinya bisa menjadi alat penolakan jika anggotanya didominasi oleh kelompok tertentu atau tidak memiliki independensi yang kuat. Ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan netralitas FKUB.
  4. Hambatan Terhadap Hak Beribadah dan Pembangunan Sosial:

    • Pelanggaran HAM: Penolakan atau penghambatan pendirian rumah ibadah secara esensial adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia untuk beribadah. Umat beragama terpaksa beribadah di tempat yang tidak layak, bahkan mengganggu fasilitas umum, karena tidak adanya akses pada rumah ibadah yang resmi.
    • Ketidakstabilan Sosial: Konflik berkepanjangan terkait rumah ibadah dapat menciptakan ketidakstabilan sosial, menguras energi masyarakat dan pemerintah, serta menghambat fokus pada isu-isu pembangunan lain yang lebih substansial.

Akar Masalah di Balik Implikasi Negatif

Beberapa faktor mendasari munculnya implikasi negatif dari PBM 2006:

  1. Intoleransi dan Fanatisme: Sikap intoleran dan fanatisme agama yang masih mengakar di sebagian masyarakat menjadi pupuk subur bagi penolakan rumah ibadah agama lain.
  2. Kurangnya Pemahaman Kebhinekaan: Pendidikan multikulturalisme dan pemahaman tentang esensi kebhinekaan yang masih lemah membuat masyarakat mudah terprovokasi oleh isu-isu sensitif.
  3. Lemahnya Penegakan Hukum: Aparat penegak hukum yang kurang tegas atau bahkan terkesan membiarkan aksi-aksi intoleran semakin memperparah situasi dan memberi angin kepada kelompok-kelompok penolak.
  4. Ambiguitas PBM 2006: Frasa "dukungan masyarakat setempat" sangat ambigu dan rentan terhadap interpretasi subjektif, yang seringkali merugikan kelompok minoritas.
  5. Peran Media Sosial: Penyebaran informasi yang salah, provokasi, dan ujaran kebencian melalui media sosial mempercepat eskalasi konflik dan memperkeruh suasana.

Menuju Solusi yang Adil dan Berkelanjutan

Melihat kompleksitas masalah ini, diperlukan pendekatan komprehensif dan multidimensional untuk merevisi kebijakan dan memulihkan kerukunan umat:

  1. Revisi PBM 2006: Kebijakan ini perlu direvisi agar lebih berkeadilan, transparan, dan berperspektif hak asasi manusia. Syarat dukungan masyarakat perlu ditinjau ulang, mungkin dengan fokus pada jumlah pengguna yang jelas dan menghilangkan unsur "masyarakat setempat" yang rentan dimanipulasi. Proses perizinan harus disederhanakan dan dipercepat.
  2. Penguatan Peran FKUB: FKUB harus diperkuat secara kelembagaan, independensi, dan kapasitas anggotanya. Anggota FKUB harus representatif dari berbagai kelompok agama dan memiliki komitmen kuat terhadap kerukunan. Peran mediasi dan dialog harus dioptimalkan, bukan sebagai "pintu gerbang" penolakan.
  3. Pendidikan Multikulturalisme dan Toleransi: Pendidikan formal dan non-formal harus secara konsisten menanamkan nilai-nilai toleransi, saling menghargai, dan kebhinekaan sejak dini. Dialog antarumat beragama perlu digalakkan di semua tingkatan masyarakat.
  4. Penegakan Hukum yang Tegas: Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bertindak tegas terhadap setiap tindakan intoleransi, diskriminasi, dan intimidasi terkait pendirian rumah ibadah, tanpa pandang bulu.
  5. Peran Tokoh Agama dan Masyarakat: Tokoh-tokoh agama dan masyarakat memiliki tanggung jawab besar untuk menyerukan perdamaian, menenangkan umat, dan menjadi teladan dalam menjaga kerukunan.
  6. Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah: Pemerintah daerah harus proaktif dalam memfasilitasi dialog, mencari solusi kompromi, dan memastikan semua warga negara memiliki hak yang sama untuk beribadah.

Kesimpulan

Kebijakan pendirian rumah ibadah di Indonesia, khususnya PBM 2006, adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia berupaya mengatur dan menciptakan ketertiban; di sisi lain, dalam implementasinya, ia seringkali menjadi sumber ketidakadilan, diskriminasi, dan konflik yang mengoyak tenun kerukunan umat. Untuk mencapai harmoni yang sejati, diperlukan keberanian politik untuk merevisi kebijakan yang diskriminatif, komitmen semua pihak untuk memperkuat toleransi, serta penegakan hukum yang adil dan tegas. Hanya dengan demikian, rumah ibadah dapat berfungsi sebagaimana mestinya: sebagai pusat spiritualitas yang membawa kedamaian, bukan sebagai pemicu perpecahan di tengah masyarakat yang majemuk. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi model kerukunan beragama, asalkan semua pihak bersedia duduk bersama, berdialog, dan membangun kebijakan yang benar-benar mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Exit mobile version