Preman Pasar: Anatomi Kekuatan Informal dan Ketertiban Semu di Pusat Ekonomi Rakyat
Di setiap sudut kota, pasar tradisional selalu menjadi nadi kehidupan, pusat bertemunya berbagai lapisan masyarakat, dan arena perputaran ekonomi yang tak pernah sepi. Namun, di balik hiruk-pikuk tawar-menawar, aroma rempah, dan derap langkah kaki, seringkali terselip sebuah entitas yang keberadaannya selalu menjadi misteri sekaligus realitas yang tak terpisahkan: preman pasar. Sosok ini, dengan segala stigma negatif yang melekat padanya, menyimpan kompleksitas yang jauh melampaui sekadar citra tukang palak atau pembuat onar. Mereka adalah bagian integral dari ekosistem pasar, menjalankan peran ganda yang tak terduga, antara ancaman nyata dan penjaga ketertiban tak resmi.
Artikel ini akan menyelami lebih dalam dunia preman pasar, mengurai benang kusut kekuasaan informal, ketertiban semu, dan jejak kehidupan yang terukir di pusat ekonomi rakyat. Kita akan membahas siapa mereka, bagaimana mereka beroperasi, mengapa mereka ada, serta dampak dan implikasi keberadaan mereka bagi pedagang, masyarakat, dan tatanan sosial yang lebih luas.
Siapa Mereka dan Bagaimana Mereka Muncul?
Preman pasar bukanlah homogen. Mereka bisa berasal dari mantan pekerja kasar, pengangguran, pemuda putus sekolah, atau bahkan individu yang secara turun-temurun "menguasai" wilayah tertentu. Label "preman" sendiri seringkali disematkan oleh masyarakat berdasarkan perilaku intimidatif atau cara mereka memperoleh penghasilan secara tidak lazim. Namun, dalam konteks pasar, istilah ini seringkali merujuk pada individu atau kelompok yang memiliki pengaruh dan mengklaim "otoritas" atas area atau aktivitas tertentu di pasar.
Kemunculan mereka seringkali berakar pada beberapa faktor:
- Kesenjangan Ekonomi dan Keterbatasan Lapangan Kerja: Banyak individu yang terjerat dalam lingkaran premanisme pasar karena minimnya akses terhadap pekerjaan formal yang layak. Pasar menjadi "wilayah" yang memungkinkan mereka menciptakan sumber penghasilan, meskipun seringkali melalui cara-cara informal atau ilegal.
- Kelemahan Otoritas Formal: Ketika kehadiran atau efektivitas aparat keamanan (polisi, satpol PP) dalam menjaga ketertiban dan keamanan pasar dirasa kurang, celah ini diisi oleh kekuatan informal. Para preman, dalam beberapa kasus, bahkan dianggap lebih "responsif" dalam menyelesaikan konflik kecil atau menjaga keamanan dibandingkan birokrasi formal.
- Tradisi dan Jaringan Lokal: Di beberapa pasar, keberadaan premanisme bisa jadi merupakan warisan dari "jagoan" atau "jawara" lokal yang secara historis menguasai wilayah. Mereka memiliki jaringan yang kuat, baik di kalangan pedagang maupun di luar pasar, yang memperkuat posisi mereka.
- Sistem Patronase: Preman seringkali beroperasi di bawah payung "patron" yang lebih besar, bisa jadi politisi lokal, pengusaha, atau bahkan oknum aparat. Hubungan ini memberikan mereka legitimasi informal dan perlindungan.
Peran Ganda: Antara Ancaman dan Penjaga Tak Terlihat
Citra umum preman pasar adalah sosok yang menakutkan, identik dengan pemalakan, kekerasan, dan pemerasan. Dan memang, tidak bisa dipungkiri, aspek ini adalah realitas yang sering dialami pedagang. Mereka sering membebankan pungutan liar (pungli) dalam bentuk "uang keamanan," "uang kebersihan," "uang lapak," atau berbagai dalih lainnya. Pedagang yang menolak sering dihadapkan pada ancaman, intimidasi, bahkan kekerasan fisik atau perusakan barang dagangan. Hal ini tentu saja memberatkan pedagang, menaikkan biaya operasional, dan pada akhirnya dapat membebani konsumen.
Namun, di balik wajah menakutkan itu, preman pasar juga memainkan peran-peran fungsional yang paradoks, yang terkadang membuat pedagang enggan sepenuhnya menolak keberadaan mereka:
- Penjaga Keamanan Informal: Di banyak pasar, preman seringkali menjadi "polisi" dadakan. Mereka dapat membantu mengamankan lapak dari pencurian, menengahi perselisihan antar pedagang, atau bahkan membantu mencari barang yang hilang. Kehadiran mereka, dalam beberapa kasus, menciptakan rasa aman yang instan bagi pedagang, terutama di malam hari atau jam-jam sepi.
- Manajemen Lapak dan Lahan: Preman seringkali mengatur tata letak lapak, siapa yang boleh berjualan di mana, dan bagaimana distribusi lahan diatur. Meskipun seringkali berujung pada pungli untuk "sewa" lapak, sistem ini, bagi beberapa pedagang, menawarkan kepastian ruang berdagang daripada harus berebut atau berurusan dengan birokrasi yang rumit.
- Penyelesaian Konflik: Ketika terjadi perselisihan antar pedagang, baik terkait batas lapak, utang piutang, atau masalah pribadi, preman seringkali menjadi mediator yang cepat. Mereka memiliki "hukum" dan "aturan main" sendiri yang meskipun informal, seringkali lebih efektif dan cepat dalam menyelesaikan masalah daripada menunggu proses hukum formal.
- Jaringan Informasi dan Sosial: Preman seringkali memiliki jaringan informasi yang luas di pasar. Mereka tahu siapa berbuat apa, siapa yang punya masalah, dan bahkan bisa menjadi perantara untuk berbagai kebutuhan, mulai dari mencari kuli angkut hingga mendapatkan pinjaman informal.
- Perlindungan dari Pihak Luar: Beberapa preman juga "melindungi" pedagang dari gangguan pihak luar, termasuk preman dari kelompok lain, atau bahkan dari penertiban yang terlalu agresif dari aparat tertentu.
Dinamika Hubungan: Pedagang, Aparat, dan Masyarakat
Hubungan antara preman pasar dan pedagang adalah hubungan yang kompleks, seringkali diliputi ketakutan sekaligus ketergantungan. Pedagang membenci pungli dan intimidasi, tetapi seringkali merasa tidak punya pilihan lain selain "bekerja sama" demi kelancaran usaha dan keamanan pribadi. Kepatuhan mereka adalah bentuk adaptasi pragmatis terhadap lingkungan yang ada.
Hubungan dengan aparat keamanan juga tidak kalah rumit. Seringkali, ada tuduhan "pembiaran" atau bahkan "kerja sama" antara preman dan oknum aparat. Preman mungkin membayar upeti kepada oknum aparat agar aktivitas mereka tidak diganggu, atau bahkan menjadi informan bagi polisi dalam kasus-kasus kriminalitas yang lebih besar. Di sisi lain, aparat juga sering melakukan razia dan penangkapan, menunjukkan upaya penegakan hukum. Namun, siklus ini seringkali berulang, menandakan bahwa masalahnya jauh lebih dalam daripada sekadar penangkapan individu.
Bagi masyarakat umum, preman pasar adalah sosok yang membingungkan. Mereka adalah bagian dari realitas pasar yang sering dijumpai, namun juga sumber ketidaknyamanan dan potensi bahaya. Terkadang, mereka dianggap sebagai "penjaga" lingkungan, di lain waktu sebagai "parasit" yang merugikan.
Dampak dan Konsekuensi Keberadaan Preman Pasar
Keberadaan preman pasar memiliki dampak yang signifikan:
- Dampak Ekonomi: Pungutan liar meningkatkan biaya operasional pedagang, yang pada akhirnya dapat dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Ini mengurangi daya saing pasar tradisional dan menghambat pertumbuhan usaha kecil.
- Dampak Sosial: Menciptakan iklim ketakutan dan ketidakpastian. Kekerasan dan intimidasi merusak kohesi sosial dan rasa aman di lingkungan pasar. Ketergantungan pada kekuatan informal juga mengikis kepercayaan terhadap institusi formal.
- Dampak Hukum dan Tata Kelola: Menunjukkan adanya kekosongan atau kelemahan dalam tata kelola pasar oleh pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Ini menciptakan "negara dalam negara" di mana aturan informal lebih dominan daripada hukum formal.
- Dampak Psikologis: Pedagang hidup dalam tekanan dan kecemasan, yang dapat mempengaruhi kesehatan mental dan produktivitas mereka.
Jalan Keluar: Menuju Pasar yang Berdaulat dan Berkeadilan
Mengurai benang kusut premanisme pasar membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan multidimensional, bukan sekadar penangkapan sporadis.
- Penegakan Hukum yang Konsisten dan Transparan: Aparat penegak hukum harus bertindak tegas, tanpa pandang bulu, dan bebas dari praktik korupsi atau kolusi. Penangkapan harus diikuti dengan proses hukum yang adil dan efek jera yang nyata.
- Revitalisasi dan Tata Kelola Pasar yang Profesional: Pemerintah daerah harus mengambil alih pengelolaan pasar secara penuh, profesional, dan transparan. Ini termasuk penataan lapak yang jelas, sistem retribusi yang adil dan tercatat, serta penyediaan fasilitas yang memadai (keamanan, kebersihan, sanitasi). Dengan demikian, pedagang tidak lagi merasa perlu mencari "perlindungan" dari pihak informal.
- Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial: Memberikan alternatif mata pencarian bagi mereka yang rentan terjerumus premanisme. Program pelatihan keterampilan, akses ke modal usaha kecil, dan penciptaan lapangan kerja formal dapat menjadi solusi jangka panjang.
- Edukasi dan Kesadaran Masyarakat: Mendorong pedagang untuk berani melapor dan menolak pungli, serta membangun solidaritas di antara mereka. Masyarakat juga perlu diedukasi tentang bahaya premanisme dan pentingnya mendukung pasar yang bebas dari praktik ilegal.
- Keterlibatan Komunitas: Membangun forum komunikasi antara pedagang, pengelola pasar, aparat, dan tokoh masyarakat untuk bersama-sama merumuskan solusi dan menjaga ketertiban.
Kesimpulan
Preman pasar adalah fenomena yang kompleks, lahir dari irisan antara kemiskinan, lemahnya penegakan hukum, dan kebutuhan akan ketertiban informal. Mereka bukan sekadar pelaku kriminal, melainkan juga cerminan dari kegagalan sistem formal dalam menyediakan keamanan dan keadilan yang merata di akar rumput. Mengatasi masalah preman pasar berarti tidak hanya memberantas individu, tetapi juga memperbaiki akar masalah struktural yang melahirkan mereka.
Mewujudkan pasar yang aman, nyaman, dan berkeadilan adalah investasi besar bagi perekonomian rakyat. Ini membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Hanya dengan pendekatan holistik, kita bisa mengubah stigma negatif "preman pasar" menjadi pasar yang berdaulat, di mana setiap pedagang bisa berusaha dengan tenang, dan setiap rupiah yang berputar adalah hasil keringat yang jujur, bukan pungutan yang menindas.