Menakar Ketahanan: Penilaian Komprehensif Program Rekonstruksi Pasca-Gempa di Lombok
Pendahuluan: Gempa Lombok dan Awal Mula Rekonstruksi
Pada pertengahan tahun 2018, serangkaian gempa bumi dahsyat mengguncang Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, meninggalkan jejak kerusakan yang masif dan mendalam. Dimulai dengan gempa berkekuatan 6,4 SR pada 29 Juli, disusul oleh gempa 7,0 SR pada 5 Agustus, dan serangkaian gempa susulan kuat lainnya, bencana ini menewaskan ratusan jiwa, melukai ribuan orang, dan menghancurkan ratusan ribu rumah serta fasilitas publik. Estimasi kerusakan dan kerugian mencapai puluhan triliun rupiah, menjadikannya salah satu bencana alam terparah dalam sejarah Indonesia modern.
Menanggapi skala kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya, Pemerintah Indonesia segera meluncurkan program rehabilitasi dan rekonstruksi (R&R) yang ambisius. Dengan semangat "Lombok Bangkit", program ini bertujuan tidak hanya untuk membangun kembali apa yang hancur, tetapi juga untuk membangun lebih baik dan lebih tangguh (Build Back Better). Program R&R pasca-gempa Lombok menjadi studi kasus penting dalam manajemen bencana di Indonesia, melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) nasional dan internasional, sektor swasta, hingga masyarakat terdampak sendiri.
Lima tahun berlalu sejak bencana, saatnya untuk melakukan penilaian komprehensif terhadap efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan keberlanjutan program rekonstruksi tersebut. Artikel ini akan mengeksplorasi berbagai dimensi penilaian, menyoroti keberhasilan dan tantangan yang dihadapi, serta menarik pelajaran berharga untuk upaya penanggulangan bencana di masa depan.
Kerangka Program Rekonstruksi: Model Pemberdayaan Masyarakat
Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengadopsi pendekatan unik dalam rekonstruksi perumahan, yaitu melalui skema pemberdayaan masyarakat. Alih-alih kontraktor besar, masyarakat terdampak dikelompokkan dalam Kelompok Masyarakat (Pokmas) untuk membangun rumah mereka sendiri dengan pendampingan teknis dan pencairan dana bantuan stimulan. Konsep "Rumah Tahan Gempa" (RTG) menjadi fokus utama, dengan berbagai desain dan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan ketersediaan material.
Pendekatan ini memiliki beberapa tujuan: mempercepat proses pembangunan, menumbuhkan rasa kepemilikan masyarakat, serta menggerakkan ekonomi lokal melalui pembelian material dan upah pekerja dari masyarakat setempat. Selain perumahan, program rekonstruksi juga mencakup pembangunan kembali infrastruktur vital seperti sekolah, fasilitas kesehatan, tempat ibadah, kantor pemerintahan, serta fasilitas umum lainnya. Pemulihan ekonomi dan psikososial masyarakat juga menjadi bagian integral dari program yang lebih luas.
Dimensi Penilaian 1: Efektivitas dan Jangkauan Program
Salah satu indikator utama keberhasilan adalah sejauh mana target pembangunan tercapai. Dalam konteks perumahan, data menunjukkan bahwa sebagian besar rumah yang rusak berat, sedang, dan ringan telah dibangun kembali atau direhabilitasi. Ribuan unit RTG telah berdiri, memberikan tempat tinggal yang aman bagi ratusan ribu penyintas. Ini merupakan capaian yang luar biasa mengingat skala kerusakan dan tantangan logistik yang ada.
Namun, efektivitas juga harus dilihat dari jangkauan program. Apakah semua kelompok rentan, seperti lansia, penyandang disabilitas, atau kepala keluarga perempuan, mendapatkan akses yang setara terhadap bantuan? Laporan menunjukkan adanya upaya khusus untuk menjangkau kelompok-kelompok ini, namun tantangan dalam identifikasi data dan aksesibilitas lokasi tetap menjadi hambatan. Beberapa kasus menunjukkan keterlambatan atau ketidaksesuaian bantuan, terutama di daerah-daerah terpencil.
Di sektor infrastruktur publik, banyak sekolah, puskesmas, dan tempat ibadah telah selesai dibangun atau diperbaiki, memungkinkan pulihnya layanan dasar masyarakat. Keberhasilan ini berdampak langsung pada pemulihan sosial dan pendidikan anak-anak di Lombok.
Dimensi Penilaian 2: Kualitas dan Keberlanjutan
Prinsip "Build Back Better" (BBB) adalah inti dari program rekonstruksi pasca-bencana. Ini bukan hanya tentang membangun kembali, tetapi membangun dengan standar yang lebih baik untuk mengurangi risiko di masa depan. Dalam hal ini, implementasi RTG menjadi sorotan utama.
Secara umum, desain RTG telah memenuhi standar teknis ketahanan gempa. Namun, dalam pelaksanaannya, isu kualitas material dan pengawasan teknis menjadi tantangan. Beberapa laporan mengindikasikan adanya penggunaan material di bawah standar atau pengerjaan yang kurang tepat oleh Pokmas karena keterbatasan pengetahuan teknis atau pengawasan yang kurang optimal. Hal ini memunculkan kekhawatiran tentang daya tahan jangka panjang beberapa bangunan RTG.
Dari segi keberlanjutan, program ini telah mencoba memberdayakan masyarakat melalui Pokmas. Namun, keberlanjutan ini juga bergantung pada kapasitas masyarakat untuk memelihara dan memperbaiki bangunan secara mandiri di masa depan. Pelatihan dan pendampingan pasca-konstruksi menjadi krusial untuk memastikan RTG tetap berfungsi optimal. Integrasi pendidikan pengurangan risiko bencana (PRB) ke dalam kurikulum sekolah dan kegiatan komunitas juga menjadi kunci untuk membangun ketahanan jangka panjang.
Dimensi Penilaian 3: Efisiensi, Transparansi, dan Akuntabilitas
Model Pokmas, meskipun memberdayakan, juga membawa kompleksitas dalam hal manajemen keuangan dan pengawasan. Dana bantuan stimulan disalurkan langsung ke rekening Pokmas, yang kemudian bertanggung jawab atas pembelian material dan pembayaran pekerja. Ini mengurangi birokrasi, namun membutuhkan tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dari setiap Pokmas.
Sistem pengawasan berlapis, melibatkan BNPB, pemerintah daerah, dan pendamping masyarakat, telah diterapkan. Namun, kasus-kasus penyelewengan dana atau penggunaan yang tidak tepat, meskipun minoritas, sempat mencuat. Ini menunjukkan perlunya sistem pengawasan yang lebih ketat, pelatihan yang lebih intensif bagi Pokmas dalam pengelolaan keuangan, dan mekanisme pengaduan yang mudah diakses dan responsif.
Efisiensi juga diukur dari kecepatan respons dan koordinasi antarlembaga. Di awal program, koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan berbagai lembaga pendukung menghadapi kendala. Namun, seiring berjalannya waktu, koordinasi membaik, meskipun masih ada ruang untuk penyelarasan yang lebih baik dalam perencanaan dan implementasi program multi-sektoral.
Dimensi Penilaian 4: Pemulihan Ekonomi dan Sosial
Rekonstruksi bukan hanya tentang bangunan fisik, tetapi juga tentang pemulihan mata pencarian dan kohesi sosial. Gempa Lombok menghantam sektor pariwisata, pertanian, dan perikanan yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal.
Program pemulihan ekonomi telah mencakup bantuan modal usaha, pelatihan keterampilan, dan dukungan pemasaran produk lokal. Meskipun dampaknya positif, skala pemulihan ekonomi mungkin belum sebanding dengan skala kerusakan yang terjadi. Banyak UMKM yang masih berjuang untuk bangkit sepenuhnya, terutama dengan tantangan tambahan seperti pandemi COVID-19 yang datang tak lama setelah rekonstruksi fisik berjalan.
Dari sisi sosial, gempa meninggalkan trauma psikologis yang mendalam. Program dukungan psikososial dan trauma healing telah dilaksanakan, namun dampaknya perlu dinilai secara jangka panjang. Pembangunan kembali fasilitas umum seperti masjid, pura, dan gereja juga berperan penting dalam memulihkan ikatan sosial dan spiritual masyarakat yang sempat terganggu.
Tantangan dan Pembelajaran Kritis
Beberapa tantangan signifikan muncul selama program rekonstruksi:
- Isu Lahan: Masalah kepemilikan lahan dan relokasi di daerah rawan bencana menjadi hambatan. Di beberapa lokasi, sulit menemukan lahan yang aman dan disepakati untuk relokasi.
- Kapasitas Teknis Pokmas: Meskipun model Pokmas memberdayakan, tidak semua anggota memiliki kapasitas teknis yang memadai untuk konstruksi. Ketergantungan pada pendamping teknis menjadi sangat tinggi.
- Koordinasi dan Sinkronisasi: Menyelaraskan berbagai program dari kementerian/lembaga berbeda, serta organisasi non-pemerintah, selalu menjadi tantangan besar dalam upaya rekonstruksi skala besar.
- Dampak Faktor Eksternal: Pandemi COVID-19 pada tahun 2020 memberikan pukulan ganda, memperlambat proses rekonstruksi, mengganggu rantai pasok material, dan memperparah kondisi ekonomi masyarakat yang baru mulai bangkit.
- Perubahan Kebijakan: Beberapa kali perubahan kebijakan atau prosedur di tengah jalan sempat menyebabkan kebingungan dan penundaan.
Dari berbagai tantangan ini, beberapa pembelajaran penting dapat ditarik:
- Pentingnya Data yang Akurat: Sistem data kerusakan dan kebutuhan yang komprehensif dan terverifikasi sejak awal sangat krusial untuk perencanaan yang tepat.
- Penguatan Kapasitas Lokal: Investasi pada pelatihan teknis dan manajerial untuk masyarakat lokal (Pokmas) harus lebih masif dan berkelanjutan.
- Kerangka Regulasi yang Fleksibel namun Tegas: Regulasi harus cukup fleksibel untuk mengakomodasi dinamika lapangan, namun tetap tegas dalam standar kualitas dan akuntabilitas.
- Integrasi PRB Sejak Awal: Prinsip Build Back Better harus terintegrasi sejak fase perencanaan, bukan hanya sebagai tambahan.
- Pemulihan Holistik: Rekonstruksi tidak hanya fisik, tetapi juga ekonomi, sosial, dan psikologis, yang membutuhkan pendekatan multi-sektoral dan jangka panjang.
Kesimpulan dan Rekomendasi Masa Depan
Program rekonstruksi pasca-gempa di Lombok merupakan upaya monumental dengan capaian yang patut diapresiasi. Ribuan rumah dan fasilitas publik telah berdiri kembali, menunjukkan komitmen pemerintah dan ketangguhan masyarakat. Model pemberdayaan masyarakat melalui Pokmas, meskipun tidak tanpa cela, telah membuktikan potensi besar dalam mempercepat pemulihan dan menumbuhkan rasa kepemilikan.
Namun, penilaian komprehensif juga menyoroti area-area yang memerlukan perbaikan. Isu kualitas bangunan, efektivitas pengawasan, tantangan koordinasi, serta pemulihan ekonomi yang belum sepenuhnya merata, adalah beberapa catatan penting.
Untuk upaya rekonstruksi di masa depan, beberapa rekomendasi dapat diajukan:
- Penguatan Sistem Pengawasan Kualitas: Memperkuat pengawasan teknis secara independen dan melibatkan masyarakat dalam pemantauan kualitas material dan konstruksi.
- Peningkatan Kapasitas Pokmas: Memberikan pelatihan teknis, manajerial, dan keuangan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan kepada Pokmas.
- Harmonisasi Kebijakan dan Koordinasi: Membangun kerangka kebijakan yang lebih stabil dan mekanisme koordinasi yang lebih efektif antar semua pemangku kepentingan.
- Fokus pada Keberlanjutan Ekonomi: Mengembangkan program pemulihan ekonomi yang lebih terstruktur, berkelanjutan, dan adaptif terhadap guncangan eksternal.
- Integrasi PRB yang Lebih Kuat: Memastikan setiap aspek rekonstruksi mengadopsi prinsip pengurangan risiko bencana, termasuk perencanaan tata ruang yang lebih baik dan pendidikan kesiapsiagaan masyarakat.
Program rekonstruksi Lombok adalah cerminan dari ketangguhan Indonesia dalam menghadapi bencana. Meskipun perjalanan masih panjang untuk mencapai pemulihan yang paripurna dan berkelanjutan, pelajaran dari Lombok akan menjadi bekal berharga bagi bangsa ini untuk membangun masa depan yang lebih aman dan tangguh di tengah ancaman bencana yang tak terhindarkan. Lombok telah bangkit, dan dari abu kehancuran, telah tumbuh pelajaran berharga tentang bagaimana membangun kembali, dan membangun lebih baik.