Pemakzulan: Mekanisme Konstitusional Penegakan Akuntabilitas Pejabat Tinggi Negara
Dalam lanskap demokrasi modern, prinsip akuntabilitas dan supremasi hukum adalah pilar fundamental yang menopang kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Namun, bagaimana jika pejabat tinggi negara, yang memegang kekuasaan besar, diduga melakukan pelanggaran serius yang mengancam integritas negara atau konstitusi itu sendiri? Di sinilah konsep "pemakzulan" atau impeachment muncul sebagai mekanisme krusial. Bukan sekadar proses politik biasa, pemakzulan adalah instrumen konstitusional yang berat, langka, dan seringkali sarat dengan ketegangan, dirancang untuk memastikan bahwa bahkan pejabat paling berkuasa pun tidak kebal terhadap hukum dan pertanggungjawaban.
I. Memahami Esensi Pemakzulan: Sebuah Definisi dan Filosofi
Pemakzulan dapat didefinisikan sebagai proses formal yang dilakukan oleh badan legislatif (parlemen atau kongres) untuk mendakwa atau menuduh seorang pejabat publik, biasanya pejabat eksekutif atau yudikatif tingkat tinggi, dengan pelanggaran serius yang dilakukan saat menjabat. Ini bukan proses peradilan pidana dalam arti tradisional, melainkan lebih mirip dengan dakwaan politik atau indictment yang dikeluarkan oleh badan legislatif. Jika dakwaan ini disetujui, pejabat tersebut kemudian akan menghadapi persidangan di badan legislatif yang lain (atau majelis tinggi) untuk menentukan apakah ia bersalah dan layak untuk diberhentikan dari jabatannya.
Filosofi di balik pemakzulan berakar pada kebutuhan untuk menciptakan sistem checks and balances atau saling kontrol dan keseimbangan kekuasaan. Para pendiri republik-republik modern, menyadari potensi tirani atau penyalahgunaan kekuasaan, merancang mekanisme ini sebagai "katup pengaman" terakhir. Tujuannya bukan untuk menghukum individu secara pidana (yang merupakan ranah pengadilan biasa), melainkan untuk melindungi negara dan rakyat dari pejabat yang dianggap tidak layak atau berbahaya untuk terus memegang jabatan. Ini adalah manifestasi dari prinsip bahwa tidak seorang pun, bahkan kepala negara sekalipun, berada di atas hukum.
Secara historis, akar pemakzulan dapat ditelusuri kembali ke Inggris abad ke-14, di mana Parlemen menggunakan mekanisme ini untuk menuntut menteri-menteri Raja yang korup atau tiran. Konsep ini kemudian diadopsi dan diadaptasi oleh Amerika Serikat dalam Konstitusi mereka, menjadi model bagi banyak negara demokratis lainnya, termasuk Indonesia.
II. Dasar Hukum dan Jenis Pelanggaran yang Mendasari Pemakzulan
Dasar hukum pemakzulan bervariasi antar negara, namun secara umum, Konstitusi masing-masing negara akan merinci siapa yang dapat dimakzulkan dan atas dasar pelanggaran apa. Di Amerika Serikat, Pasal II, Bagian 4 Konstitusi menyatakan bahwa Presiden, Wakil Presiden, dan semua pejabat sipil Amerika Serikat dapat dimakzulkan dan diberhentikan dari jabatan atas tuduhan "pengkhianatan (Treason), penyuapan (Bribery), atau kejahatan dan pelanggaran berat lainnya (other high Crimes and Misdemeanors)."
Frasa "kejahatan dan pelanggaran berat lainnya" adalah inti dari banyak perdebatan dan interpretasi. Secara umum, ini tidak merujuk pada kejahatan pidana biasa, melainkan pada pelanggaran yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan publik, pelanggaran sumpah jabatan, atau perilaku yang merusak integritas institusi negara. Contohnya meliputi:
- Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Power): Menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi atau politik, menghalangi keadilan, atau menekan pihak oposisi.
- Korupsi (Corruption): Penyuapan, pemerasan, atau penyalahgunaan dana publik.
- Pengkhianatan (Treason): Melakukan tindakan melawan negara atau membantu musuh.
- Pelanggaran Konstitusi (Violation of Constitutional Oath): Tindakan yang secara fundamental bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan sumpah jabatan.
- Perilaku Tidak Patut (Misconduct): Meskipun tidak selalu kriminal, perilaku yang dianggap merusak martabat jabatan dan kepercayaan publik.
Penting untuk dicatat bahwa perbedaan pandangan politik atau ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah biasanya bukan merupakan dasar yang cukup untuk pemakzulan. Proses ini dimaksudkan untuk mengatasi pelanggaran serius terhadap hukum atau konstitusi, bukan untuk menyelesaikan perselisihan ideologis atau kebijakan.
III. Proses Pemakzulan: Tahapan yang Kompleks dan Berlapis
Meskipun detailnya bervariasi, proses pemakzulan umumnya mengikuti beberapa tahapan kunci yang dirancang untuk memastikan kehati-hatian dan objektivitas, mengingat dampak seriusnya terhadap stabilitas politik.
A. Inisiasi dan Investigasi (Tahap Penyelidikan):
Proses seringkali dimulai di majelis rendah legislatif (misalnya, Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia, House of Representatives di AS). Anggota parlemen dapat mengajukan resolusi pemakzulan, atau komite yang relevan (seperti komite hukum atau kehakiman) dapat memulai penyelidikan atas dugaan pelanggaran. Pada tahap ini, bukti dikumpulkan, saksi dipanggil, dan laporan disiapkan. Ini adalah fase di mana fakta-fakta divalidasi dan tuduhan dirumuskan secara spesifik.
B. Pengajuan Pasal Pemakzulan (Tahap Dakwaan):
Berdasarkan hasil penyelidikan, komite yang berwenang dapat merekomendasikan "Pasal-Pasal Pemakzulan" (Articles of Impeachment). Ini adalah daftar formal tuduhan yang, jika disetujui, setara dengan dakwaan pidana. Majelis rendah kemudian akan melakukan pemungutan suara untuk menyetujui pasal-pasal ini. Di banyak negara, mayoritas sederhana (50% + 1) dari anggota yang hadir diperlukan untuk meloloskan pasal-pasal pemakzulan. Jika lolos, pejabat tersebut secara resmi "dimakzulkan" (yaitu, didakwa).
C. Persidangan di Majelis Tinggi (Tahap Peradilan):
Setelah pejabat dimakzulkan oleh majelis rendah, kasus tersebut beralih ke majelis tinggi legislatif (misalnya, Senat di AS, atau dalam kasus Indonesia, Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat). Majelis tinggi bertindak sebagai pengadilan, dengan anggota majelis rendah (sering disebut "manajer pemakzulan") bertindak sebagai jaksa penuntut, dan tim hukum pejabat yang dimakzulkan bertindak sebagai pembela.
Dalam persidangan pemakzulan presiden, seringkali Ketua Mahkamah Agung yang memimpin persidangan untuk memastikan keadilan prosedural. Saksi dapat dipanggil, bukti disajikan, dan argumen hukum diajukan. Proses ini bisa sangat panjang dan rumit, menyerupai persidangan pengadilan biasa namun dengan nuansa politik yang kuat.
D. Pemungutan Suara dan Konsekuensi (Tahap Putusan):
Setelah persidangan selesai, majelis tinggi akan melakukan pemungutan suara atas setiap Pasal Pemakzulan. Untuk menghukum dan memberhentikan pejabat dari jabatannya, diperlukan mayoritas super, biasanya dua pertiga (2/3) dari anggota yang hadir dan memberikan suara. Ambang batas tinggi ini menunjukkan betapa seriusnya tindakan pemberhentian seorang pejabat yang dipilih secara demokratis.
Jika pejabat tersebut dinyatakan bersalah oleh mayoritas yang disyaratkan, konsekuensi utamanya adalah pemberhentian segera dari jabatannya. Selain itu, beberapa konstitusi juga memungkinkan majelis tinggi untuk melarang pejabat tersebut memegang jabatan publik di masa depan. Penting untuk diingat bahwa pemakzulan bukanlah hukuman pidana. Pejabat yang diberhentikan masih dapat menghadapi tuntutan pidana di pengadilan biasa atas tindakan yang sama, terpisah dari proses pemakzulan.
IV. Studi Kasus dan Refleksi Internasional
Pemakzulan, meskipun jarang, telah terjadi di berbagai negara, masing-masing dengan nuansa dan pelajaran uniknya:
A. Amerika Serikat:
Sejak pembentukannya, empat presiden AS telah menghadapi proses pemakzulan oleh House of Representatives:
- Andrew Johnson (1868): Dimakzulkan atas pelanggaran Tenure of Office Act (yang kemudian dianggap inkonstitusional) dan penghinaan terhadap Kongres. Ia dibebaskan oleh Senat dengan selisih satu suara.
- Richard Nixon (1974): Menghadapi proses pemakzulan terkait skandal Watergate (penyalahgunaan kekuasaan, menghalangi keadilan). Ia mengundurkan diri sebelum pemungutan suara di House dapat dilakukan, menghindari pemakzulan dan kemungkinan pemberhentian.
- Bill Clinton (1998): Dimakzulkan atas sumpah palsu dan menghalangi keadilan terkait skandal Monica Lewinsky. Ia dibebaskan oleh Senat.
- Donald Trump (2019 & 2021): Dimakzulkan dua kali. Pertama, atas penyalahgunaan kekuasaan dan menghalangi Kongres terkait Ukraina. Kedua, atas penghasutan pemberontakan terkait penyerbuan Gedung Capitol. Ia dibebaskan oleh Senat dalam kedua kasus tersebut.
Tidak ada presiden AS yang pernah diberhentikan dari jabatannya melalui proses pemakzulan. Kasus-kasus ini menyoroti sifat politik yang inheren dalam proses pemakzulan, di mana garis partai seringkali memainkan peran signifikan dalam hasil akhir.
B. Indonesia:
Indonesia memiliki mekanisme pemakzulan yang unik, terutama untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan UUD 1945, prosesnya melibatkan beberapa lembaga:
- DPR (Dewan Perwakilan Rakyat): Dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden jika diduga melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Usul harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
- Mahkamah Konstitusi (MK): Setelah usul DPR disetujui, MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan diterima. MK akan menentukan apakah tuduhan pelanggaran hukum atau syarat telah terbukti secara hukum. Putusan MK bersifat final dan mengikat.
- MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat): Jika MK menyatakan bahwa tuduhan terbukti, DPR akan menyelenggarakan sidang paripurna untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR kemudian akan menyelenggarakan sidang untuk mengambil keputusan. Keputusan MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota MPR, dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Satu-satunya kasus pemakzulan Presiden di Indonesia terjadi pada tahun 2001 terhadap Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Proses ini dipicu oleh dugaan keterlibatan dalam skandal "Buloggate" dan "Bruneigate", serta tuduhan bahwa ia melanggar sumpah jabatan. Setelah melalui proses panjang di DPR, MK, dan akhirnya MPR, Gus Dur diberhentikan dari jabatannya pada Juli 2001. Kasus ini menunjukkan kompleksitas dan sensitivitas proses pemakzulan di Indonesia, yang melibatkan interpretasi hukum dan dinamika politik yang intens.
C. Contoh Internasional Lain:
- Korea Selatan: Presiden Park Geun-hye dimakzulkan pada tahun 2017 atas tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, dan diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi.
- Brasil: Presiden Fernando Collor de Mello (1992) dan Dilma Rousseff (2016) dimakzulkan dan diberhentikan dari jabatan atas tuduhan korupsi dan pelanggaran anggaran.
V. Tantangan dan Kontroversi dalam Pemakzulan
Meskipun esensial, proses pemakzulan tidak luput dari tantangan dan kontroversi:
- Sifat Politik vs. Hukum: Batas antara pelanggaran hukum yang dapat dimakzulkan dan perbedaan politik yang sah seringkali kabur. Hal ini memicu perdebatan apakah pemakzulan adalah proses hukum atau alat politik yang digunakan oleh oposisi untuk menjatuhkan lawan. Idealnya, ia harus berakar pada pelanggaran hukum yang jelas, tetapi realitasnya, sentimen politik seringkali mempengaruhi jalannya proses.
- Potensi Penyalahgunaan: Ada kekhawatiran bahwa pemakzulan dapat disalahgunakan sebagai senjata partisan untuk menyingkirkan pejabat yang tidak disukai, bahkan tanpa dasar yang kuat, sehingga mengancam stabilitas pemerintahan.
- Dampak pada Stabilitas Negara: Proses pemakzulan yang berkepanjangan dapat menciptakan ketidakpastian politik, memecah belah masyarakat, dan mengganggu jalannya pemerintahan, terutama jika melibatkan kepala negara.
- Standar Bukti: Tidak ada standar bukti yang seragam seperti dalam pengadilan pidana. Anggota legislatif yang menjadi juri dan hakim seringkali membuat keputusan berdasarkan keyakinan politik atau interpretasi pribadi terhadap "kejahatan dan pelanggaran berat."
- Peran Opini Publik dan Media: Opini publik dan liputan media dapat secara signifikan mempengaruhi tekanan politik terhadap proses pemakzulan, menambah kompleksitas dinamika yang sudah ada.
VI. Pemakzulan sebagai Pilar Demokrasi
Terlepas dari tantangan dan kontroversinya, pemakzulan tetap menjadi pilar penting dalam arsitektur demokrasi konstitusional. Ini adalah mekanisme "jalan terakhir" yang jarang digunakan, tetapi keberadaannya sangat penting:
- Penegakan Akuntabilitas: Ia memastikan bahwa tidak ada pejabat, betapapun tingginya jabatannya, yang berada di atas hukum. Ini adalah manifestasi nyata dari prinsip supremasi hukum.
- Perlindungan Konstitusi: Pemakzulan berfungsi sebagai benteng terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mengikis fondasi konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi.
- Pencegahan Tirani: Dengan memberikan parlemen kekuatan untuk menyingkirkan pejabat yang melanggar kepercayaan publik secara serius, pemakzulan bertindak sebagai pencegah terhadap kecenderungan otokratis.
- Pemulihan Kepercayaan Publik: Dalam kasus-kasus di mana pelanggaran pejabat sangat merusak kepercayaan publik, pemakzulan dapat menjadi cara untuk memulihkan integritas institusi dan legitimasi pemerintahan.
Kesimpulan
Pemakzulan adalah salah satu instrumen konstitusional paling serius dan konsekuensial yang tersedia dalam sistem pemerintahan demokratis. Ia bukan alat untuk ketidaksepakatan politik rutin, melainkan mekanisme darurat yang dirancang untuk mengatasi pelanggaran berat terhadap hukum atau konstitusi oleh pejabat tinggi. Prosesnya yang kompleks, melibatkan investigasi mendalam, dakwaan formal, dan persidangan yang ketat, mencerminkan beratnya keputusan untuk memberhentikan seorang pejabat yang telah menerima mandat dari rakyat.
Meskipun seringkali diwarnai oleh intrik politik dan perdebatan sengit, keberadaan pemakzulan adalah bukti komitmen suatu negara terhadap prinsip akuntabilitas, transparansi, dan supremasi hukum. Ia berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa kekuasaan, sekecil atau sebesar apa pun, selalu datang dengan tanggung jawab, dan bahwa dalam demokrasi sejati, tidak ada seorang pun yang kebal dari pertanggungjawaban di hadapan hukum dan konstitusi.